Kamis, 05 Januari 2012

Dendam ...Urailah ...


seorang kakek yang tinggal di depan rumah meminta bantuan saya untuk memasangkan pesawat telepon. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang begitu besar tapi nampak sunyi dan senyap.
Kakek itu tinggal seorang diri dalam bangunan empat tingkat itu. Semula dia sangat akur dengan cucunya, saling bergantung satu sama lain. Setelah cucunya menikah, ternyata istrinya tidak cocok dengan si kakek, bahkan keduanya bagaikan minyak dan api. Begitu berjumpa, acapkali langsung terpercik pertengkaran yang sangat hebat.
Hingga suatu hari, terdengar suara ‘brak’ yang sangat keras. Si kakek membawa pemukul kayu dan dihantamkan ke mobil cucu menantunya itu. Dan sejak saat itu, sang cucu beserta isterinya tidak pernah pulang ke rumah itu lagi.
Sebenarnya, mereka pernah menemui saya dan saling mengeluhkan atas sikap kedua pihak, tetapi saat keluhan datang, selalu saja ada urusan mendesak yang membuat saya tidak berkesempatan menanggapi keluhan itu. Hal ini mungkin dikarenakan tidak ada orang yang mampu merubah hubungan takdir orang lain!
Mungkin saja perseteruan itu memang harus terjadi, itu juga merupakan suratan dari Yang Kuasa untuk mengetuk hati kita agar dapat menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai seorang yang berbudi luhur, kita dituntut untuk tidak mencari kesalahan orang lain, tetapi mencoba mencari kesalahan itu pada diri sendiri. Dengan adanya pihak yang mau berlapang dada mengakui kesalahannya, maka barulah dendam itu bisa teruraikan!
Dendam seharusnya diurai bukan untuk diikat. Apa lagi itu memang sudah suratan, tentunya semua itu punya hubungan takdir yang sulit diketahui dan dipahami oleh manusia.
Saya pernah membaca sebuah kisah dari agama Buddha yang menceritakan tentang dendam yang turun temurun:
Dahulu ada istri dari seorang penganut agama Buddha yang mandul. Dia sangat takut apabila karena hal tersebut ia akan disisihkan oleh mertua dan suaminya. Maka dengan pengaturannya sendiri, sang suami diberi seorang istri muda. Akan tetapi sudah dua kali berturut-turut, ketika dia mengetahui bahwa istri muda itu hamil, obat penggugur dicampurkan dalam nasi sehingga membuat istri muda itu mengalami dua kali keguguran.
Saat kehamilan yang ketiga, istri muda itu sengaja tidak memberitahukan kepadanya, tetapi akhirnya diketahui juga oleh istri tua. Mengakibatkan istri muda tersebut mengalami keguguran yang ketiga kali dan meninggal karenanya.
Sebelum meninggal, istri muda itu bersumpah akan membalas dendam kepada istri tua dan anak turunannya. Maka dendam turun-temurun diantara kedua orang itu dimulai sejak saat itu.
Si istri tua dan istri muda ini telah mengalami beberapa kali reinkarnasi. Pada masa kehidupan sekarang, si istri tua telah bereinkarnasi menjadi seorang putri bangsawan, sedangkan istri muda bereinkarnasi menjadi siluman pemakan manusia.
Suatu hari, siluman pemakan manusia ini mati-matian mengejar putri bangsawan itu bersama bayinya. Ketika putri bangsawan ini mengetahui Sang Buddha sedang berceramah di Gu Du Yuan, dia melarikan diri ke sisi Sang Buddha, dan meletakkan bayinya di bawah kaki Sang Buddha, untuk memohon perlindungan.
Akhirnya siluman pemakan manusia itu dipanggil masuk untuk bertemu Sang Buddha. Kemudian diberikan nasehat kepada mereka berdua, menjelaskan hubungan takdir mereka pada kehidupan yang lalu.
Sang Buddha memperingatkan kepada mereka, bahwa mendendam hanya bisa me-nambah dendam yang lebih banyak, hanya dengan persahabatan, saling pengertian dan niat kebaikanlah yang bisa mengurai dendam kesumat.
Setelah mendengar penuturan Sang Buddha, mereka lalu menyadari kesalahan masing-masing, dan berkat nasihat Sang Buddha, segala kesalahan di masa lalu telah dimaafkan dan dihapuskan.
Selanjutnya Sang Buddha meminta si putri bangsawan menyerahkan bayi laki-lakinya kepada siluman pemakan manusia itu. Pada mulanya si putri itu merasa ragu sejenak, akan tetapi atas ketaatan dan keyakinannya kepada Sang Buddha, dengan patuh dia serahkan bayi laki-lakinya kepada siluman pemakan manusia.
Setelah menerima bayi itu, siluman pemakan manusia dengan penuh kasih mencium si bayi dan diperlakukan bagaikan anaknya sendiri. Akan tetapi sejenak kemudian, dia lalu mengembalikan bayi laki-laki itu kepada si putri bangsawan. Sejak saat itu, mereka berdua saling berbaikan.
Sambil membantu kakek memasang telpon, dalam pikiran saya terbesit kisah ini. Meskipun mungkin tidak akan bisa langsung dimengerti dan dilaksanakan, tetapi bukankah ada banyak hal yang memang perlu kita pelajari dulu? Paling tidak hal ini dapat menjadi pertimbangan si kakek, memberikan padanya suatu kesempatan untuk dapat mengurai dendam ini. Asal ada tekad yang tulus, saya yakin dendam ini pasti dapat terurai. (Shan/The Epoch Times/lin) sumber epoctimes.co.id

Pertanyaan refleksi :
Apakah saya punya dendam? Kepada siapakah? Maukah saya melepasnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar