seorang kakek yang tinggal di depan rumah meminta bantuan saya untuk
memasangkan pesawat telepon. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki
masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang begitu besar tapi nampak sunyi dan senyap.
Kakek itu tinggal
seorang diri dalam bangunan empat tingkat itu. Semula dia sangat akur dengan
cucunya, saling bergantung satu sama lain. Setelah cucunya menikah, ternyata
istrinya tidak cocok dengan si kakek, bahkan keduanya bagaikan minyak dan api.
Begitu berjumpa, acapkali langsung terpercik pertengkaran yang sangat hebat.
Hingga suatu hari,
terdengar suara ‘brak’ yang sangat keras. Si kakek membawa pemukul kayu dan
dihantamkan ke mobil cucu menantunya itu. Dan sejak saat itu, sang cucu beserta
isterinya tidak pernah pulang ke rumah itu lagi.
Sebenarnya, mereka
pernah menemui saya dan saling mengeluhkan atas sikap kedua pihak, tetapi saat
keluhan datang, selalu saja ada urusan mendesak yang membuat saya tidak
berkesempatan menanggapi keluhan itu. Hal ini mungkin dikarenakan tidak ada
orang yang mampu merubah hubungan takdir orang lain!
Mungkin saja perseteruan
itu memang harus terjadi, itu juga merupakan suratan dari Yang Kuasa untuk
mengetuk hati kita agar dapat menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai seorang
yang berbudi luhur, kita dituntut untuk tidak mencari kesalahan orang lain,
tetapi mencoba mencari kesalahan itu pada diri sendiri. Dengan adanya pihak
yang mau berlapang dada mengakui kesalahannya, maka barulah dendam itu bisa
teruraikan!
Dendam seharusnya diurai
bukan untuk diikat. Apa lagi itu memang sudah suratan, tentunya semua itu punya
hubungan takdir yang sulit diketahui dan dipahami oleh manusia.
Saya pernah membaca
sebuah kisah dari agama Buddha yang menceritakan tentang dendam yang turun
temurun:
Dahulu ada istri dari
seorang penganut agama Buddha yang mandul. Dia sangat takut apabila karena hal
tersebut ia akan disisihkan oleh mertua dan suaminya. Maka dengan pengaturannya
sendiri, sang suami diberi seorang istri muda. Akan tetapi sudah dua kali
berturut-turut, ketika dia mengetahui bahwa istri muda itu hamil, obat
penggugur dicampurkan dalam nasi sehingga membuat istri muda itu mengalami dua
kali keguguran.
Saat kehamilan yang
ketiga, istri muda itu sengaja tidak memberitahukan kepadanya, tetapi akhirnya
diketahui juga oleh istri tua. Mengakibatkan istri muda tersebut mengalami
keguguran yang ketiga kali dan meninggal karenanya.
Sebelum meninggal, istri
muda itu bersumpah akan membalas dendam kepada istri tua dan anak turunannya.
Maka dendam turun-temurun diantara kedua orang itu dimulai sejak saat itu.
Si istri tua dan istri
muda ini telah mengalami beberapa kali reinkarnasi. Pada masa kehidupan
sekarang, si istri tua telah bereinkarnasi menjadi seorang putri bangsawan,
sedangkan istri muda bereinkarnasi menjadi siluman pemakan manusia.
Suatu hari, siluman
pemakan manusia ini mati-matian mengejar putri bangsawan itu bersama bayinya.
Ketika putri bangsawan ini mengetahui Sang Buddha sedang berceramah di Gu Du
Yuan, dia melarikan diri ke sisi Sang Buddha, dan meletakkan bayinya di bawah
kaki Sang Buddha, untuk memohon perlindungan.
Akhirnya siluman pemakan
manusia itu dipanggil masuk untuk bertemu Sang Buddha. Kemudian diberikan
nasehat kepada mereka berdua, menjelaskan hubungan takdir mereka pada kehidupan
yang lalu.
Sang Buddha
memperingatkan kepada mereka, bahwa mendendam hanya bisa me-nambah dendam yang
lebih banyak, hanya dengan persahabatan, saling pengertian dan niat kebaikanlah
yang bisa mengurai dendam kesumat.
Setelah mendengar penuturan
Sang Buddha, mereka lalu menyadari kesalahan masing-masing, dan berkat nasihat
Sang Buddha, segala kesalahan di masa lalu telah dimaafkan dan dihapuskan.
Selanjutnya Sang Buddha
meminta si putri bangsawan menyerahkan bayi laki-lakinya kepada siluman pemakan
manusia itu. Pada mulanya si putri itu merasa ragu sejenak, akan tetapi atas
ketaatan dan keyakinannya kepada Sang Buddha, dengan patuh dia serahkan bayi
laki-lakinya kepada siluman pemakan manusia.
Setelah menerima bayi
itu, siluman pemakan manusia dengan penuh kasih mencium si bayi dan
diperlakukan bagaikan anaknya sendiri. Akan tetapi sejenak kemudian, dia lalu
mengembalikan bayi laki-laki itu kepada si putri bangsawan. Sejak saat itu,
mereka berdua saling berbaikan.
Sambil membantu kakek
memasang telpon, dalam pikiran saya terbesit kisah ini. Meskipun mungkin tidak
akan bisa langsung dimengerti dan dilaksanakan, tetapi bukankah ada banyak hal
yang memang perlu kita pelajari dulu? Paling tidak hal ini dapat menjadi
pertimbangan si kakek, memberikan padanya suatu kesempatan untuk dapat mengurai
dendam ini. Asal ada tekad yang tulus, saya yakin dendam ini pasti dapat
terurai. (Shan/The Epoch Times/lin) sumber epoctimes.co.id
Pertanyaan refleksi :
Apakah saya punya dendam? Kepada siapakah? Maukah saya
melepasnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar