Selasa, 06 Mei 2014

Cabe Cabean : Dimana Peran Pendidikan dan Keluarga

Fenomena : Cabe cabean
JAKARTA, KOMPAS.com — Buat sebagian warga Jakarta, istilan "cabe-cabean" sudah tak asing lagi. Mereka kerap berada di sekitar arena balap motor liar di Jakarta dan juga di perempatan-perempatan. Tarif "cabe-cabean" atau pekerja seks komersial yang berusia belasan tahun mencapai hingga Rp 30 juta.

Masih muda, sebagian pelajar, bertubuh ideal, umur berkisar 14 - 20 tahun, telah menghabiskan waktunya di tempat yang tidak seharusnya. sebetulnya apa yang terjadi? mengapa seorang remaja perempuan dan seorang remaja pria menghabiskan waktu dengan sia sia.


Saya melihat dua aspek penting agar fenomena ini tidak terus terjadi yakni peningkatan peran pendidikan dan keluarga. Pendidikan benar membuat seorang bermakna, keluarga yang sehat membuat pribadi kuat.

Pendidikan memerdekakan atau membelenggu?
Saat ini banyak tekanan yang dihadapi oleh orang muda. Dahsyatnya tekanan membuat mereka melarikan diri. Coba bayangkan, saat ini tuntutan pendidikan, perkembangan teknologi, masalah di rumah, tarik menarik dipertemanan, belum lagi kondisi emosi yang labil membuat kehidupan remaja sungguh bingung.

Mereka ingin bertanya kepada siapa? Siapa yang mereka percaya dan bisa mendengarkan mereka? Apakah pemerintah atau pembuat kebijakan pernah bertanya kepada mereka, apa yang kamu dapat dengan sistem pendidikan yang diterapkan sekarang. Apakah dengan sistem pendidikan sekarang membuat mereka menjadi lebih dewasa, tanggung jawab dan semangat?

Jika di tanya, mereka menjawab jujur pastilah jawaban yang menyakitkan telinga yang akan keluar dari mulut mereka. Kita orang dewasa saja tidak suka diatur atur, apalagi mereka yang pada dasarnya sedang mencari dan mengeksplor diri pasti terasa dikungkung, mereka ingin lari dari semua tekanan yang mereka hadapi.

Pendidikan di sekolah bahkan lebih banyak membuat tumpul dan minder. Dengan pendekatan kecerdasan majemuk, bisa dibayangkan anak yang kecerdasan dominannya seni atau kinestetis, tentu ruang penghargaannya jauh berbeda dengan yang dominan kecerdasan verbal dan matematika.

Padahal masing masing orang punya dominasinya dan sistem pendidikan sekolah tidak mampu menampung semua kreatifitas dari masing masing kecerdasan. Jadi wajar saja jika anak yang dominasinya bukan verbal dan matematika akan merasa tidak PD dan akhirnya mereka mencari ruang ruang dimana mereka lebih bisa bermakan kalau istilah anak sekarang “biar eksis”

Biar Eksis, mereka akhirnya mencari ke luar dari diri mereka, mencari kelompoknya dan sayangnya semua yang dicari dengan pelarian biasanya adalah salah.  Akhirnya mereka menemukan orang orang yang menurut mereka adalah sependeritaan, segelombang, selevel, sehobi, juga sebahasa. Akhirnya sekarang munculah trend trend komunitas, salah satunya yang geng motor.

Mengapa karena pada dasarnya manusia ingin diperlakukan terhormat dan dihargai. Apakah sistem pendidikan kita mampu memberi penghargaan secara personal kepada setiap anak didiknya? Sehingga mereka merasa berdaya dan dihargai. Jika seorang merasa dianggap, pastilah ia akan berupaya untuk mengejarnya, tak usah dipaksa paksa. Tapi karena di sekolah kurang memberi ruang ekspresi , mereka belajar sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa gunanya ke depan.

Mereka yang hidup dalam lingkaran cabe cabean, jika ditanya dengan kesadarannya yang sejati pasti tidak mau mereka melakukan hal itu. Mereka ingin hidup normal, diperhatikan dan dicintai dengan tulus. Diakui dan dihargai apa adanya mereka. Memiliki aktualisasi diri dan dipercaya serta diberi kesempatan. Sesungguhnya jika mereka memiliki ruang ekspresi yang cukup,  mungkin fenomena cabe cabean ini tidak marak terjadi.

Makna pendidikan
Sejatinya apa itu pendidikan? Pendidikan diambil dalam bahasa latin educare, yang dalam bahasa inggris diterjemahkan to draw out, artinya menarik keluar. Jadi pendidikan berarti haruslah mencerahkan, dari dalam diri. Dari luar adalah pemicu, seperti pemantik api. Selanjutnya dari dalam mereka sendiri adalah obor. Mereka hanya butuh sentuhan kecil yang tepat sehingga mereka bermakna.

Bukan sekedar menghafal dan menerima logika yang sudah ada. Justru pendidikan harus berani mempertanyakan dan kritis. Jika pendidikan tidak membuat orang tercerahkan maka sebetulnya pendidikan malah membuat penjara penjara baru. Penjara yang lebih mengerikan bahkan seperti hakim yang lalim.

Anda bisa bayangkan jika seorang anak berkata kepada orang tuanya, saya melihat ada orang yang berjalan tapi kok nggak ada kakinya (hantu). Orang tuanya dengan segera mengatakan kamu salah lihat, nggak ada itu. Kamu membuat mama takut, nggak ada hal seperti itu. Semenjak itu mereka tidak mengakui apa yang mereka lihat. Akhirnya merekapun menjadi sama seperti yang lainnya, padahal ada orang orang yang memang diberi Tuhan kemampuan khusus, tapi sayang kemampuan itu musnah seketika atau berangsur angsur karena sekitarnya tidak memahami dan langsung menghakimi.

Atau ajaran ajaran yang bahkan mungkin terdengar sangat aneh tapi di lakukan. Seorang kerabat kehilangan anak ketika lahir, sekarang menggunakan konde dari paku (menangkal jadi kuntilanak). Kok bisa? Bisa karena itulah yang diajarkan oleh keluarga dan lingkungannya. Pendidikan yang sejatinya adalah memerdekakan, rasional, mencerahkan, menyemangati dan bermakna. Apakah pendidikan kita sudah menjawab hal tersebut?

Saya kawatir kita semua sudah terjebak dalam sistem proyek, sistem yang baunya tak sedap, setiap tahun harus ada UN, betapa mengerikannya bangsa ini (menurut saya). Mengapa harus! Tidak ada yang harus, orang pintar yang sesungguhnya justru adalah orang orang yang berada di luar kotak. Bukan berarti dia tidak ada di dalamnya, tapi justru mampu membuat jarak sehingga mampu melihat dengan konprehensif – menyeluruh.

Otoritas orangtua hancur – keluarga gamang.
Bagaimana dengan keluarga? Anda bisa bayangkan, seorang anak perempuan bisa ke luar malam malam, berangkat malam, pulang pagi. Bagaimana ia di sekolah? Tentu hanya bisa bengong dan tertidur. Seingat saya ketika SMP pergi ke luar malam, saya sungkan dan takut, kawatir tidak diijinkan. Tapi bagaimana dengan keadaan sekarang, apakah otoritas ayah dan ibu (orangtua) tegak berdiri? Berapa persen orangtua yang otoritasnya sungguh dihormati anaknya.

Jika sampai tidak ada kontrol, apa yang terjadi di rumah? Pasti yang terjadi adalah keliaran. Bukankah jika keluarga baik, seorang anak akan sangat senang berada di rumah! Jika sampai seorang anak berani keluar malam bahkan berulang ulang melakukannya barangkali di rumah sudah jadi neraka bagi mereka. Rumah bukan lagi tempat yang aman - nyaman.

Di matanya setiap hari terlihat adalah pemandangan peperangan, konflik, sumpah serapah, kebohongan dan penderitaan. Maka untuk melipur hatinya ia pun lari, mungkin hanya sekedar melepas kepenatan tapi sayang bayarannya sangat mahal. Sebagian ke rokok, games maniak, pornografi, narkoba, judi, pergaulan bebas, dan banyak hal mengerikan lainnya. Semua hal buruk terjadi ketika seseorang dalam keadaan tidak rasional, dikendalikan oleh emosi sesaat yang akan disesali panjang kemudian.

Apa yang bisa dilakukan?
Jadilah teman remaja, dengarkan ide mereka walau mungkin mereka nampak bodoh. Temani mereka dalam kesunyian dan pencarian mereka, beri mereka kesempatan dan kepercayaan untuk aktualisasikan diri agar mereka merasa bermakan. Satu hal penting lakukanlah kontrol dengan berani berbicara dari hati ke hati, undanglah agar mereka memahami sisi orang  dewasa, bukankah justru mereka sedang beranjak dewasa.

Semoga anda dan saya menjadi orang yang mampu menjadikan teman para remaja yang ideal bagi mereka

Salam hangat ... candratua




Tidak ada komentar:

Posting Komentar