Fenomena : Cabe cabean
JAKARTA, KOMPAS.com — Buat sebagian warga Jakarta, istilan
"cabe-cabean" sudah tak asing lagi. Mereka kerap berada di sekitar
arena balap motor liar di Jakarta dan juga di perempatan-perempatan. Tarif
"cabe-cabean" atau pekerja seks komersial yang berusia belasan tahun
mencapai hingga Rp 30 juta.
Masih muda, sebagian pelajar, bertubuh ideal,
umur berkisar 14 - 20 tahun, telah menghabiskan waktunya di tempat yang tidak
seharusnya. sebetulnya apa yang terjadi? mengapa seorang remaja perempuan dan
seorang remaja pria menghabiskan waktu dengan sia sia.
Saya melihat dua aspek penting agar fenomena ini tidak terus terjadi yakni peningkatan peran pendidikan
dan keluarga. Pendidikan benar membuat seorang bermakna, keluarga yang sehat
membuat pribadi kuat.
Pendidikan memerdekakan atau
membelenggu?
Saat ini banyak tekanan yang dihadapi oleh orang muda. Dahsyatnya tekanan
membuat mereka melarikan diri. Coba bayangkan, saat ini tuntutan pendidikan,
perkembangan teknologi, masalah di rumah, tarik menarik dipertemanan, belum
lagi kondisi emosi yang labil membuat kehidupan remaja sungguh bingung.
Mereka ingin bertanya kepada siapa? Siapa yang mereka percaya dan bisa
mendengarkan mereka? Apakah pemerintah atau pembuat kebijakan pernah bertanya
kepada mereka, apa yang kamu dapat dengan sistem pendidikan yang diterapkan
sekarang. Apakah dengan sistem pendidikan sekarang membuat mereka menjadi lebih
dewasa, tanggung jawab dan semangat?
Jika di tanya, mereka menjawab jujur pastilah jawaban yang menyakitkan
telinga yang akan keluar dari mulut mereka. Kita orang dewasa saja tidak suka
diatur atur, apalagi mereka yang pada dasarnya sedang mencari dan mengeksplor
diri pasti terasa dikungkung, mereka ingin lari dari semua tekanan yang mereka
hadapi.
Pendidikan di sekolah bahkan lebih banyak membuat tumpul dan minder. Dengan
pendekatan kecerdasan majemuk, bisa dibayangkan anak yang kecerdasan dominannya
seni atau kinestetis, tentu ruang penghargaannya jauh berbeda dengan yang
dominan kecerdasan verbal dan matematika.
Padahal masing masing orang punya
dominasinya dan sistem pendidikan sekolah tidak mampu menampung semua
kreatifitas dari masing masing kecerdasan. Jadi wajar saja jika anak yang
dominasinya bukan verbal dan matematika akan merasa tidak PD dan akhirnya
mereka mencari ruang ruang dimana mereka lebih bisa bermakan kalau istilah anak
sekarang “biar eksis”
Biar Eksis, mereka akhirnya mencari ke luar dari diri mereka, mencari
kelompoknya dan sayangnya semua yang dicari dengan pelarian biasanya adalah
salah. Akhirnya mereka menemukan orang
orang yang menurut mereka adalah sependeritaan, segelombang, selevel, sehobi, juga
sebahasa. Akhirnya sekarang munculah trend trend komunitas, salah satunya yang
geng motor.
Mengapa karena pada dasarnya manusia ingin diperlakukan terhormat dan
dihargai. Apakah sistem pendidikan kita mampu memberi penghargaan secara
personal kepada setiap anak didiknya? Sehingga mereka merasa berdaya dan
dihargai. Jika seorang merasa dianggap, pastilah ia akan berupaya untuk
mengejarnya, tak usah dipaksa paksa. Tapi karena di sekolah kurang memberi
ruang ekspresi , mereka belajar sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa
gunanya ke depan.
Mereka yang hidup dalam lingkaran cabe cabean, jika ditanya dengan
kesadarannya yang sejati pasti tidak mau mereka melakukan hal itu. Mereka ingin
hidup normal, diperhatikan dan dicintai dengan tulus. Diakui dan dihargai apa
adanya mereka. Memiliki aktualisasi diri dan dipercaya serta diberi kesempatan.
Sesungguhnya jika mereka memiliki ruang ekspresi yang cukup, mungkin fenomena cabe cabean ini tidak marak
terjadi.
Makna pendidikan
Sejatinya apa itu pendidikan? Pendidikan diambil dalam bahasa latin educare,
yang dalam bahasa inggris diterjemahkan to draw out, artinya menarik keluar.
Jadi pendidikan berarti haruslah mencerahkan, dari dalam diri. Dari luar adalah
pemicu, seperti pemantik api. Selanjutnya dari dalam mereka sendiri adalah
obor. Mereka hanya butuh sentuhan kecil yang tepat sehingga mereka bermakna.
Bukan sekedar menghafal dan menerima logika yang sudah ada. Justru pendidikan
harus berani mempertanyakan dan kritis. Jika pendidikan tidak membuat orang
tercerahkan maka sebetulnya pendidikan malah membuat penjara penjara baru. Penjara
yang lebih mengerikan bahkan seperti hakim yang lalim.
Anda bisa bayangkan jika seorang anak berkata kepada orang tuanya, saya
melihat ada orang yang berjalan tapi kok nggak ada kakinya (hantu). Orang tuanya
dengan segera mengatakan kamu salah lihat, nggak ada itu. Kamu membuat mama
takut, nggak ada hal seperti itu. Semenjak itu mereka tidak mengakui apa yang
mereka lihat. Akhirnya merekapun menjadi sama seperti yang lainnya, padahal ada
orang orang yang memang diberi Tuhan kemampuan khusus, tapi sayang kemampuan
itu musnah seketika atau berangsur angsur karena sekitarnya tidak memahami dan
langsung menghakimi.
Atau ajaran ajaran yang bahkan mungkin terdengar sangat aneh tapi di
lakukan. Seorang kerabat kehilangan anak ketika lahir, sekarang menggunakan
konde dari paku (menangkal jadi kuntilanak). Kok bisa? Bisa karena itulah yang diajarkan
oleh keluarga dan lingkungannya. Pendidikan yang sejatinya adalah memerdekakan,
rasional, mencerahkan, menyemangati dan bermakna. Apakah pendidikan kita sudah
menjawab hal tersebut?
Saya kawatir kita semua sudah terjebak dalam sistem proyek, sistem yang
baunya tak sedap, setiap tahun harus ada UN, betapa mengerikannya bangsa ini
(menurut saya). Mengapa harus! Tidak ada yang harus, orang pintar yang
sesungguhnya justru adalah orang orang yang berada di luar kotak. Bukan berarti
dia tidak ada di dalamnya, tapi justru mampu membuat jarak sehingga mampu
melihat dengan konprehensif – menyeluruh.
Otoritas orangtua hancur – keluarga gamang.
Bagaimana dengan keluarga? Anda bisa bayangkan, seorang anak perempuan bisa
ke luar malam malam, berangkat malam, pulang pagi. Bagaimana ia di sekolah? Tentu
hanya bisa bengong dan tertidur. Seingat saya ketika SMP pergi ke luar malam,
saya sungkan dan takut, kawatir tidak diijinkan. Tapi bagaimana dengan keadaan sekarang,
apakah otoritas ayah dan ibu (orangtua) tegak berdiri? Berapa persen orangtua
yang otoritasnya sungguh dihormati anaknya.
Jika sampai tidak ada kontrol, apa yang terjadi di rumah? Pasti yang terjadi
adalah keliaran. Bukankah jika keluarga baik, seorang anak akan sangat senang
berada di rumah! Jika sampai seorang anak berani keluar malam bahkan berulang
ulang melakukannya barangkali di rumah sudah jadi neraka bagi mereka. Rumah
bukan lagi tempat yang aman - nyaman.
Di matanya setiap hari terlihat adalah pemandangan peperangan, konflik,
sumpah serapah, kebohongan dan penderitaan. Maka untuk melipur hatinya ia pun
lari, mungkin hanya sekedar melepas kepenatan tapi sayang bayarannya sangat
mahal. Sebagian ke rokok, games maniak, pornografi, narkoba, judi, pergaulan
bebas, dan banyak hal mengerikan lainnya. Semua hal buruk terjadi ketika
seseorang dalam keadaan tidak rasional, dikendalikan oleh emosi sesaat yang
akan disesali panjang kemudian.
Apa yang bisa dilakukan?
Jadilah teman remaja, dengarkan ide mereka walau mungkin mereka nampak bodoh.
Temani mereka dalam kesunyian dan pencarian mereka, beri mereka kesempatan dan
kepercayaan untuk aktualisasikan diri agar mereka merasa bermakan. Satu hal
penting lakukanlah kontrol dengan berani berbicara dari hati ke hati, undanglah
agar mereka memahami sisi orang dewasa, bukankah justru mereka sedang
beranjak dewasa.
Semoga anda dan saya menjadi orang yang mampu menjadikan teman para remaja
yang ideal bagi mereka
Salam hangat ... candratua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar