Pada suatu hari, dusun itu kedatangan seorang lelaki tua berpakaian compang-camping. Dia memikul dua keranjang bambu besar yang diisi tanah, berjalan di sepanjang jalan untuk dijual. Akan tetapi tidak ada orang yang sudi menanyakannya.
Orang tua itu melihat tidak ada siapa pun yang mau membeli tanah, dia
lalu berkata kepada penduduk dusun, "Di rumah saya masih ada seorang ibu
renta yang harus saya hidupi. Kami sudah kehabisan beras untuk beberapa
hari, saya juga tidak memiliki barang untuk dijual, maka terpaksa
memikul tanah ini untuk ditukar dengan uang demi menghidupi ibu saya."
Penduduk dusun tidak pernah mendengar hal yang sedemikian aneh, menjual
tanah untuk ditukar dengan uang. Mereka semua tak bisa menahan tawa,
ada seseorang menyeletuk, "Pak tua, apa keistimewaan tanah ini? Bukankah
ini ada dimana-mana, jadi siapa yang mau membelinya?"
Pak tua itu menjawab, "Benda ini kelihatannya biasa, tetapi benda ini
memuat De (baca: te, = pahala, berkah) yang besar. Dia bisa menolong
manusia di saat menghadapi bencana besar. Mohon kepada siapa yang
berhati baik, kasihanilah ibu saya yang ada di rumah. Belilah sepikul
tanah ini!"
Pak tua ini baru selesai berbicara, ada seorang lain yang menimpali,
"Tanah memangnya bisa menolong orang? Siapa yang percaya? Pak tua
jangan-jangan Anda mau menipu kami." Perkataan tersebut menyebabkan
semua orang tertawa lagi.
Kelihatannya tidak ada seorang pun yang mau membeli tanahnya. Lalu Pak
tua itu sembari menghela nafasnya dan berkata, "Saya ini orang tua yang
telah berjalan menelusuri jalan dan lorong, menjual tanah mengantarkan
huo (=hidup),sudah puluhan hari. Namun sayang sekali tidak ada orang
yang mau membeli. Kasihan sekali ibuku yang tua renta, dia harus menahan
lapar lebih lama lagi."
Saat itu, ada seorang berusia paruh baya bermarga Gao. Orang-nya jujur
dan baik hati. Dia menaruh iba pada keadaan Pak tua yang sangat kasihan
itu, dia lalu berkata, "Pak tua, saya beli tanahmu itu seharga 300 tail.
Tolong Anda letakkan tanah itu di halaman depan rumah saya saja, dan
cepat-cepatlah bergegas pulang, agar ibumu yang ada di rumah tidak
menjadi khawatir."
Semua orang yang melihatnya, menertawakan orang yang membeli tanah itu sambil membubarkan diri.
Saat itu, hari sudah beranjak malam, si Pak tua penjual tanah masih
sibuk menebarkan tanah disekeliling rumah orang yang bermarga Gao tadi.
Setelah selesai, lalu Pak Tua itu berkata pada tuan rumah, "Huo (=
hidup) sudah saya berikan kepada Anda." Kemudian dia meninggalkan tempat
itu, hilang dalam kegelapan malam.
Malam itu, bumi serasa merekah dan langit runtuh, gunung bergoncang dan
laut berderu, hujan badai bagaikan air yang tertuang dari langit. Dalam
legenda dikatakan bahwa Laut Utara menyatu dengan Laut Selatan.
Keesokan harinya, Tuan marga Gao yang baik hati itu membuka pintu untuk
melihat. Namun alangkah terkejutnya ia melihat rumahnya dikelilingi
oleh tanggul dari tanah. Di luar tanggul hanya terlihat air bagai
lautan. Seluruh tetangganya habis tersapu air bah, hanya rumahnya
sendiri selamat karena dikelilingi oleh tanggul tanah yang kuat.
Marga Gao yang baik hati itu segera mengerti. Ternyata Pak tua penjual
tanah itu telah menyelamatkan nyawa sekeluarganya! Pak tua itu
menyebarkan tanah untuk menghadang tsunami. Setelah air bah surut, marga
Gao yang baik hati itu itu membawa keluarganya untuk pindah ke tempat
lain.
Dari cerita tersebut, kita bisa dapatkan pemahaman seperti ini: Kebajikan bisa menolong diri sendiri.
Tepat adalah tindakan kebaikan orang marga Gao yang telah menyelamatkan
nyawa seluruh keluarganya. Tuhan hanya menolong manusia yang baik. Jika
saja penduduk dusun itu mengerti bahwa tindakan kebaikan itu dapat
menyelamatkan nyawa mereka, sudah pasti mereka akan membantu Pak tua
penjual tanah itu.
Akan tetapi sejarah itu telah berlalu, dan tidak bisa diulang kembali,
jadi penduduk dusun itu juga tidak memiliki kesempatan untuk memilih
sekali lagi, pelajaran yang mereka dapatkan hanya bisa menjadi komentar
dan sebagai referensi bagi generasi penerus. (The Epoch Times/lin) erabaru.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar