Saya dan istri saya, Eleanor, mengunjungi teman pada hari Sabtu ketika
anak sembilan tahun mereka, Dana, pulang. Dana hampir menangis, tak
kuasa menahan air matanya.
"Oh sayang," kata ibunya. "Apa yang terjadi pada pertandingan renang?"
Dana adalah perenang hebat. Dia berlatih keras, biasanya tiba pada
tempat latihan jam 6 tiap pagi dan sesekali berenang tiap sore juga. Dan
upayanya berbuah, dia sering kali memenangi pertandingan, mencetak poin
untuk tim renangnya. Jelas sekali dia sangat bangga dengan
kemenangan-kemenangan ini.
"Saya didiskualifikasi," ujarnya kepada kami. Dia berenang dengan baik
pada pertandingan, namun melakukan lompatan awal sepersekian detik
sebelum pistol ditembakkan, jadi dianggap telah mencuri start.
Kami berada di serambi rumah dan dia duduk di tangga paling bawah, tas
renangnya masih di bahunya, ia menatap ke angkasa, nyaris tanpa
ekspresi.
"Sayang," ayahnya berkata, "masih ada banyak pertandingan renang musim ini. Kamu akan punya kesempatan lain untuk menang."
Saya mengatakan kepadanya, "Kenyataan bahwa kamu melompat lebih awal
berarti kamu sedang berusaha semampunya. Kamu mencoba untuk tidak
membuang sekian milidetik dalam keraguan. Itulah naluri yang tepat. Kamu
meleset dalam memperhitungkan waktunya tapi itu tidak apa-apa. Semakin
sering kamu latih, semakin baik kamu melakukannya."
"Setiap perenang dari setiap tim pada suatu saat pernah didiskualifikasi," kata Eleanor. "Itu bagian dari olahraga."
"Ibu yakin pelatih akan membantumu melatih lompatan awal sebelum
pertandingan berikutnya," kata ibunya, "dan kamu akan tahu kapan waktu
yang tepat untuk meluncur ke kolam sehingga kamu tidak membuang waktu
sedetik pun, sekaligus juga tidak melakukan start dini. Kamu akan
menguasainya."
Semua yang kami katakan tampaknya tak berpengaruh padanya. Tak ada yang
bisa mengubah tatapannya yang tanpa ekspresi. Tidak ada yang bisa
membantu.
Kemudian neneknya, Mimi, berjalan mendekat.
Kami semua berdiri di dekat Dana, ketika Mimi melewati kami dan duduk
di sampingnya. Dia memeluk Dana dengan lengannya dan hanya terdiam duduk
di sana. Akhirnya, Dana menyandarkan kepalanya di bahu Mimi. Setelah
beberapa saat dalam keheningan, Mimi mencium kepala Dana dan berkata,
"Aku tahu seberapa keras kamu berusaha untuk pertandingan ini, Sayang.
Terasa sedih saat didiskualifikasi."
Pada saat itu, Dana mulai menangis. Mimi terus duduk di sana, dengan
lengannya yang memeluk Dana, selama beberapa menit, tanpa berkata
apa-apa.
Akhirnya Dana menatap Mimi, menyeka air matanya, dan berkata singkat, "Terima kasih Mimi."
Semua dari kami kecuali Mimi melewatkan apa yang Dana butuhkan.
Kami mencoba untuk membuatnya merasa lebih baik dengan membantu dia
melihat manfaat dari suatu kegagalan, menempatkan kekalahan dalam
konteks, mengajarinya untuk menarik pelajaran dari hal itu, dan
memotivasi dia untuk berusaha lebih keras dan lebih baik sehingga itu
tidak terulang lagi.
Tapi dia tidak membutuhkan semua itu. Dia sudah tahu akan hal itu. Dan
jika dia tidak tahu, dia akan menyadarinya sendiri. Apa yang dia
butuhkan? Hal yang tidak bisa ia berikan kepada dirinya sendiri, hal
yang Mimi sentuh dan Mimi berikan kepadanya?
Empati.
Dia perlu merasa bahwa dia tidak sendirian, bahwa kami semua
mencintainya dan kegagalannya tidak mengubah kasih sayang itu, ia perlu
tahu bahwa kami mengerti bagaimana perasaannya dan kami mempunyai
kepercayaan padanya bahwa dia akan mengatasinya.
Saya ingin setiap pemimpin, manajer, dan anggota tim untuk melihat
bahwa, tanggapan yang menunjukkan empati terhadap kegagalan tidak hanya
sikap yang paling penuh kasih, tapi juga yang paling produktif.
Empati mengisyaratkan kepercayaan. Dan orang-orang melakukan yang terbaik ketika mereka merasa dipercaya.
Ketika saya duduk dengan Anda dalam kesalahan atau kegagalan tanpa
mencoba untuk mengubah apa-apa, saya membiarkan Anda tahu bahwa Anda
baik-baik saja, meskipun Anda tidak berhasil melakukan dengan baik kali
ini. Dan, di lain pihak, merasakan diri baik-baik saja ketika Anda
gagal, membuat Anda merasa cukup baik untuk bangun dan mencoba lagi.
Sebagian besar dari kita melewatkannya. Biasanya, ketika orang gagal,
kita menyalahkan mereka. Atau mengajari mereka. Atau mencoba untuk
membuat mereka merasa lebih baik. Semuanya, justru sebaliknya, membuat
mereka merasa lebih buruk. Hal ini juga mendorong sikap defensif sebagai
tindakan mempertahankan diri. (Jika saya merasa hancur setelah
mengalami kegagalan, lebih baik saya mencari cara bagaimana agar hal ini
tidak terlihat sebagai kegagalan saya.)
Niat kita baik, kita ingin orang itu merasa lebih baik, untuk belajar,
untuk menghindari kesalahan yang sama. Kita ingin melindungi tim dan
kelompok kita.
Tapi pembelajarannya, menghindari kegagalan di masa depan, hanya
terjadi ketika mereka merasa baik-baik saja akan diri sendiri setelah
gagal. Dan perasaan itu lahir dari empati.
Untungnya, ekspresi empati cukup sederhana. Ketika seseorang telah
melakukan kesalahan atau tersandung dalam suatu hal, cukup dengarkan
mereka. Jangan menyela, jangan menawarkan nasihat, jangan katakan bahwa
itu akan baik-baik saja. Dan jangan takut akan keheningan. Cukup
dengarkan.
Dan kemudian, setelah beberapa waktu, refleksikan kembali apa yang Anda
dengar dari mereka, apa yang kira-kira mereka rasakan. Itu saja.
Saya katakan sederhana, bukan mudah. Sulit untuk hanya mendengarkan dan
merefleksikan kembali. Sulit untuk tidak memberikan saran atau mencoba
memecahkan masalah. Sulit, tapi layak dicoba.
Setelah beberapa waktu, Dana bangkit dari tangga, kami semua makan malam, dan kemudian dia pergi untuk menonton TV.
Kami sedang berbincang-bincang di ruang tamu ketika ia datang untuk mengucapkan selamat malam.
"Bagaimana perasaanmu?" Saya bertanya padanya.
"Baik,sepertinya." Dia mengangkat bahu. "Saya masih terpukul."
Saya hampir mengatakan kepadanya agar tidak khawatir, bahwa dia akan
baik-baik saja, dia akan merasa baikan esok pagi, bahwa akan selalu ada
pertandingan berikutnya, dia memiliki banyak waktu untuk berlatih.
Hampir.
"Saya mengerti," kataku. "Itu membuatmu terpukul." (Erabaru/wid) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar