“Minyak Angin”
Siang itu suasana sekolah terasa sangat
membosankan. “Sudah panas, tidak ada pula hal menarik untuk dikerjakan,”
pikir Jairus dalam hatinya. Ia kemudian mengeluarkan minyak angin yang memiliki
daya panas yang sangat-sangat panas dan menghirupnya dalam-dalam. Pelajaran Pak
Broto, guru biologi, sepertinya masuk kuping kanan ke luar kuping kiri. Ia
ingin sekali segera mendengar suara bel istirahat.
Begitu
mendengar bel istirahat ia langsung berlari ke luar dan menuju kantin. Jairus
segera membeli minuman dingin dan meminum habis hanya dalam beberapa detik
saja. Di sampingnya telah duduk teman sekelasnya, Petrus. “Pet, bosan banget
hari ini yah, pingin cepet pulang nih.” Petrus yang tahu tentang tingkah Jairus
tidak begitu menanggapi, dan sekedarnya hanya berkata, ”Udahlah nikmati aja,
entar juga pulang.” “Tapi gua nggak
sabar, nih,” kata Jairus sambil meninggalkan Petrus di kantin sendiri.
Kemudian
ia keluar lagi dari kelas dan menemui Petrus yang masih di
kantin sambil berkata, “Aku habis dari toilet, Pet.” Bel
sekolah pun berbunyi tanda waktu istirahat sudah berakhir dan kami harus masuk
kelas karena pelajaran berikut akan dimulai. Sekarang adalah pelajaran sejarah,
pelajaran Ibu Dewi. Ibu Dewi seorang
guru tua dan suaranya terdengar lemah jika mengajar. “Selamat siang anak-anak.
Silakan buka halaman 51, kita akan belajar tentang sejarah perang dunia kedua.
Ini pasti akan sangat menyenangkan bagi kalian ….” Sambil terus duduk dia
memberikan pelajaran, tetapi tiba-tiba ia berhenti bicara. Belum satu menit bicara beliau langsung ke luar setengah berlari dengan wajah meringis.
Anak-anak
lain bingung, “Ada apa ya dengan Ibu Dewi?” Masing-masing saling bertanya satu
sama lain. Mereka bingung karena raut muka ibu Dewi ketika keluar kelas seperti
menahan sakit. Tak lama kemudian, Pak Nana kepala sekolah kami
hadir di depan kelas kami. Wajahnya sangat seram dan nampak serius. Ia bertanya
dengan setengah berteriak “Siapa diantara kalian yang sudah berlaku kurang ajar
kepada Ibu Dewi? Jawab dengan jujur! Cepat! Bapak tidak akan mengampuni jika
tidak mengaku!” Suasana kelas segera menjadi begitu tegang dan mencekam, tidak tahu apa
yang terjadi kenapa tiba-tiba Pak Nana marah-marah. Rizki, memberanikan diri
bertanya, “Pak ada apa yah, dan apa yang terjadi dengan Ibu Dewi?”
“Ada di
antara kalian yang sudah berbuat kurang ajar. Menaruh minyak angin di bangku
guru dan sekarang pantat Ibu Dewi
kepanasan dan harus segera pulang untuk berobat. Jelas!”
Kelas pun langsung mencair dan ribut. Saling bertanya
siapa yang berbuat. Tapi tak satupun yang tahu dan tidak ada seorang pun mengaku.
Kemudian Pak Nana berkata, “Kalau tidak ada yang mengaku, maka Bapak akan
mengadakan pemeriksaan! Satu-satu anak diperiksa dan semua yang sudah diperiksa boleh langsung pulang ke rumah.” Jairus mendapat
giliran ketiga diperiksa dan ia lolos dan langsung pulang dengan tersenyum, “Akhirnya pulang juga.”
Giliran
Pak Nana memeriksa tas Petrus.
Ia menemukan minyak angin dan
segera mencocokkan dengan bau yang masih menyengat di kursi guru. Pak Nana
langsung menjewer Petrus, “ Ternyata kamu ya, selama ini nampak baik-baik ternyata
iseng, tidak punya rasa hormat dan bandel.” “Tunggu Pak, itu
bukan punya aku!” sanggah
Petrus kesakitan. “Mau berkilah ya?” suara Pak Nana begitu keras terdengar membuat Petrus terdiam dan menurut saja di bawa ke ruang
guru. Sementara teman-teman lainnya hanya bisa menatap Petrus dengan wajah
tak percaya.
Esok
paginya, Petrus tidak masuk kelas, teman-temannya bertanya-tanya apa yang
terjadi. Ternyata Petrus di hukum tiga hari tidak masuk sekolah dan harus membiayai pengobatan Ibu Dewi.
Petrus dikenal sebagai anak baik-baik
bahkan cenderung pendiam dan banyak yang tidak percaya bahwa tindakan
iseng kepada Ibu Dewi itu dilakukan
olehnya. Namun sebagian ada juga yang menuduh dan mencemoohnya.
Hari keempat Petrus
masuk sekolah. Teman-teman bertanya padanya, “Apakah kamu yang melakukannya? Kok kamu tega sih? Kamu punya
hati atau tidak, Ibu Dewi sudah tua tahu? Mana rasa hormatmu pada orang tua? Tidak
tahu malu kau! Aku nggak percaya, mengapa kamu lakukan?” Banyak pertanyaan diberikan kepada Petrus, tapi dia tetap diam sambil tersenyum
dan menjawab singkat, “Sudahlah, yang sudah ya sudah, semuanya akan baik lagi
kok.”
Diam-diam
Jairus memperhatikan Petrus ketika ia
ditanyai dan dicap anak jahat oleh beberapa temannya. Petrus tetap tenang dan
tidak begitu peduli, walau kata-kata dari teman-teman sebagian besar menyakitinya. Jairus mengamati dalam-dalam dan lebih
dekat lagi. Ada rasa penyesalan di dada Jairus. Terlebih ketika Anton, memukul kepala Petrus,
“Tega lu
ya, nggak tahu hormat ama orang tua, kalau berani ama
gua aja berantem.” Tidak
tega melihat perlakuan teman-teman pada Petrus, Jairus menghindar, hati nuraninya berontak, ia tidak tahan.
Pulang sekolah Jairus menghampiri Petrus, “Pet, maafin aku
yah, tadinya aku hanya iseng nggak maksud untuk nyusahin kamu. Aku
bosan dengan pelajaran ibu Dewi, udah
tua, suaranya kecil, nggak menarik, pokoknya ngebosenin. Aku nggak nyangka jadi ruwet seperti ini.” Sambil
menangis tertunduk, Jairus meminta
maaf dan mengakui bahwa ialah yang melakukan semua itu dan menaruh minyak itu
di tas Petrus.
Petrus
terperangah, “Kamu toh??! Jairus, Ibu Dewi adalah guru kita, sudah berumur,
tidak selayaknya kita perlakukan dia seperti itu. Coba bayangkan kalau kamu
diperlakukan seperti itu, apa yang kamu rasakan? Selama ini kamu seringkali
mengejek guru-guru kita, bahkan teman-teman juga kamu buat kesal. Ingat nggak
kamu panggil si Parto apa? Anak satpam, kan?!
Parto walau senyum pasti dia kesal padamu, Rus. Janganlah kamu lakukan lagi! Bisa
nggak?” tanya Petrus panjang lebar.
“Bisa Pet. Aku janji deh,” sahut Jairus. “Sekarang gini, bisakah
berjanji tidak mengulangi perbuatanmu? Kalau bersedia aku memaafkanmu dan
sekalian kamu pertanggungjawabkan hal ini kepada kepala sekolah ya. Aku akan
menemanimu dan dijamin kamu tidak akan mendapatkan hukumannya. Satu lagi kamu
harus ganti uang pegobatan Ibu Dewi yang aku tanggung. Setuju?” tanya
Petrus. “Setuju Pet, aku ganti,” jawab
Jairus. “Oke kalau begitu, sampai ketemu besok pagi ya,” ujar Petrus. Petrus berlalu dan mereka berpisah pulang ke
rumah masing-masing.
Keesokan
paginya sebelum pelajaran dimulai Jairus dan Petrus menghadap Pak Nana dan Ibu
Dewi. Petrus menjelaskan semuanya dan
Jairus mengiyakan. Pak Nana dan Ibu Dewi sepertinya sudah tidak sabar menjewer
Jairus, tapi Petrus berkata, ”Bu aku kan sudah dapat hukumannya, biarlah Jairus
untuk kali ini tidak dihukum, ini permintaanku, Pak, Bu! Maafkan Jairus!” Jairus menambahkan
dengan muka tertunduk, “Aku berjanji memperlakukan orang lain dengan lebih
hormat, Pak, Bu”. Pak Nana dan Ibu Dewi tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain
mengiyakan.
CERMIN
KEBIJAKSANAAN:
|
Jairus adalah seorang anak yang suka bercanda
namun ia tidak menyadari dampak dari apa yang ia perbuat. Ia mengejek teman
dan berperilaku tidak hormat kepada yang lebih tua. Banyak orang sakit hati
karena perilakunya. Apa yang dilakukan oleh jairus itu mencerminkan ia tidak
tahu sopan dan santun. Ia tidak sopan terhadap gurunya karena tidak
menghargai. Malah memberi minyak angin di bangku guru. Jairus juga tidak
santun, karena ia sering kali berkata-kata kotor dan mengejek teman lainnya.
Ia mengejek Parto si anak petugas satpam.
Jairus tidak menyadari karena kebanyakan orang
seringkali tidak mau berurusan panjang. Contohnya adalah Petrus, walau
dipersalahkan ia tidak mendedam dan tetap tenang. Ia menyadari lebih baik menanggung
kesalahan orang lain agar terjadi perubahan dan penyesalan dari orang yang
melakukan kesalahan.
|
Tantangan : Apakah kalian mampu
bersikap sopan dan santun kepada sesama?
Cerita Moral : Minyak Angin ; KaMo Homeschooling Community ; WA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar