Saya awalnya beranggapan jika seseorang tidak melakukan perbuatan
jahat, selalu melakukan hal-hal yang baik dan itu berarti seorang yang
mulia.
Setelah menginjak dewasa saya secara bertahap mengerti apa artinya
“mulia”bukan saja berarti bahwa kita di dunia ini melakukan berapa
banyak kebaikan, tetapi juga berarti kita tidak peduli kepada kejahatan
yang dilakukan orang lain terhadap kita, tidak menyimpan dendam dihati.
Mulia juga berarti memiliki sifat toleran, membantu musuh kita yang
menghadapi kesulitan dan bahaya. Orang yang dapat berbuat demikian
adalah benar-benar seorang yang mulia.
Dahulu ada seorang pedagang yang sangat kaya, ketika dia sudah tua, dia
memutuskan akan mewariskan hartanya kepada ketiga putranya. Sebelum dia
mewariskan hartanya, ketiga putranya diminta harus pergi berkelana.
Menjelang keberangkatan putranya, pedagang itu berpesan kepada putrnya,
“Setahun lagi kalian pulang ke sini, laporkan kepada saya selama
setahun ini hal yang paling mulia yang telah kalian lakukan. Saya tidak
ingin membagi warisan sehingga terpecah, hanya dengan cara ini generasi
kita yang seterusnya akan tetap menjadi kaya, setahun kemudian, hanya
orang yang dapat melakukan hal yang paling mulia yang dapat memiliki
seluruh warisan saya,” kata pedagang itu.
Setahun kemudian, ketiga putranya kembali kerumah. Putra sulung yang
terlebih dahulu melapor mengatakan, “Ketika saya berkelana, saya bertemu
dengan seorang asing, dia sangat mempercayai saya, dia memberikan
sekantong emas menyuruh saya menyimpannya. Akhirnya karena sakit dia
meninggal dunia, saya menyerahkan sekantong emas ini tanpa dibuka kepada
keluarganya,” ujarnya kepada ayahanya.
Ayahnya mengevaluasinya dan berkata, “Anakku, engkau berbuat sangat
baik!, tetapi bersifat jujur adalah sifat dasar moral yang memang harus
engkau miliki. Tidak dapat disebut sebagai hal yang mulia.”
Putra kedua mulai bercerita, “Ketika saya berkelana, saya sampai
disebuah perkampungan yang sangat miskin, saya melihat seorang anak
kecil terjatuh kedalam sungai, saya segera turun dari kuda, tanpa
memperhatikan keselamatan saya sendiri menyelamatkan anak kecil
tersebut”.
Mendengar cerita putra keduanya, pedagang itu memujinya dan berujar,
“Anakku, engkau luar biasa! Tetapi menyelamatkan orang memang sudah
menjadi kewajibanmu, hal ini tidak dapat disebut sebagai hal yang
mulia.”
Terakhir Putra bungsunya berkata, “Saya mempunyai seorang musuh, dia selalu mencari berbagai upaya mencelakakan saya. Beberapa kali saya hampir mati di tangannya. Pada suatu hari ditengah malam, saya sendiri mengendarai kuda saya melewati sebuah jurang, saya melihat musuh saya tertidur di bawah pohon di tepi jurang, saya hanya dengan perlahan mendorongnya maka dia akan terjatuh kedalam jurang, tetapi saya tidak melakukannya, saya membangunkannya, menyuruhnya melanjutkan perjalanannya. Saya rasa hal ini bukan sesuatu hal yang patut dibanggakan….,”ceritanya dengan sangsi.
Terakhir Putra bungsunya berkata, “Saya mempunyai seorang musuh, dia selalu mencari berbagai upaya mencelakakan saya. Beberapa kali saya hampir mati di tangannya. Pada suatu hari ditengah malam, saya sendiri mengendarai kuda saya melewati sebuah jurang, saya melihat musuh saya tertidur di bawah pohon di tepi jurang, saya hanya dengan perlahan mendorongnya maka dia akan terjatuh kedalam jurang, tetapi saya tidak melakukannya, saya membangunkannya, menyuruhnya melanjutkan perjalanannya. Saya rasa hal ini bukan sesuatu hal yang patut dibanggakan….,”ceritanya dengan sangsi.
Ayahnya kemudian dengan serius berkata, “Anakku, dapat membantu musuh
kita, adalah sebuah hal yang paling mulia dan paling sakral, engkau
telah melakukannya dengan baik, saya akan menyerahkan seluruh warisan
saya kepadamu.”
Benar saja, selalu melakukan hal-hal yang baik dapat disebut sebagai
orang baik, tetapi bukan merupakan hal yang paling mulia didunia ini.
Sedangkan membalas kejahatan dengan kebaikan dan bukannya dengan
kejahatan membalas kejahatan dengan hati yang baik mencairkan dendam
para musuh, ini adalah hal yang paling mulia. (hui/asr) - erabaru.net
Refleksi :
Hal yang paling sulit adalah kita memaafkan kesalahan orang lain, apalagi jika dilakuka orang yang memang benar benar menginginkan kegagalan dan kejatuhan kita. Pastinya hati kita akan sangat bergolak dan merasa dizolimi, kita ingin melampiaskan kekesalan dan amarah sesegera mungkin. Pernahkah kita mengalami hal itu? Jika kita masih memilikinya belajarlah untuk menerima orang yang menyakiti ini, sebetulnya mereka yang menyakiti kita tengah memberikan pelajaran dan membebaskan kita dari belenggu yang mengikat kita. Mungkin belenggu, kesombongan, nama, keterikatan akan nama, nafsu, persaingan, apa pun itu, jika kita cari ke dalam sesungguhnya mereka membantu kita untuk menjadi orang orang yang lebih lega dan bisa menerima hidup ini ada adanya. Baik - buruk, malang - senang, sakit - sehat ... orang yang mulia memiliki keluasan hati untuk menerima hidup apa adanya. Apakah Anda dan saya sudah memiliki hati yang mulia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar