Heboh “Rhoma Irama Menggoyang SARA?”
Menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-67
Hari ini, Jumat 17 Agustus 2012, genaplah 67 tahun merdeka suatu “een natie van koelies”, satu bangsa kuli, yang dengan penuh martabat menyatakan dirinya “Bangsa Indonesia”. Penuh martabat karena kemerdekaan itu dicapai dengan lima kebajikan tertinggi yang bisa dibayangkan oleh manusia pada tahap evolusinya sekarang ini: Paramita (transendensi); Santosa (kedamaian); Bratara (persaudaran, kesatuan); Satya (kebenaran yang mendasari keadilan); Karuna (belarasa yang mendasari solidaritas). Kebetulan itulah Pancasila, dasar negara Indonesia.
Transendensi itu, yakni ketabahan mengatasi kekerdilan dan kebesaran diri, mungkin yang paling adiluhung tercermin pada pengakuan terhadap rido ilahi yang terumus dalam sila pertama Pancasila, tapi yang paling dramatis terjadi dalam dua peristiwa 17 tahun sebelum dan sehari sesudah proklamasi kemerdekaan. Dalam peristiwa 17 tahun sebelum proklamasi tersebut, bangsa kuli itu berjuang keras untuk tiba pada sumpah “bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia”; “berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia”; “menjoenjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia”.
Bayangkan seandainya mayoritas Bangsa Indonesia itu memaksakan daerah asalnya sebagai Tanahair, sukunya sebagai bangsa, dan bahasanya sebagai bahasa resmi, pastilah tidak akan ada kemerdekaan Bangsa Indonesia itu. Juga bayangkan seandainya minoritas Bangsa Indonesia belum apa-apa sudah curiga dan cemas terhadap yang mayoritas, maka pastilah juga tidak akan pernah ada Bangsa Indonesia itu. Sejarah memang mencatat nama para pemimpin yang mewujudkan semua itu, tapi sejarah belum menggali lahan pergaulan hidup yang melahirkan mereka.
Sehari setelah proklamasi, jadi Sabtu 18 Agustus 1945, terjadi juga peristiwa transendensi yang tidak kalah dramatisnya. Hari itu, UUD 1945 diresmikan dengan perubahan penting dalam rumusan dasar negara. Naskah awal, Piagam Jakarta, mencantumkan dasar pertama sbb.: “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam UUD 1945, tujuh kata tersebut terakhir itu ditiadakan, sehingga tinggal “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. Menurut Ko-Proklamator, Mohammad Hatta, perubahan itu merupakan hasil prakarsanya yang diajukan kepada, dan disetujui oleh, empat orang tokoh yang dianggap mewakili umat Islam dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia): Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Momahad Hasan, dan Wahid Hasjim.
Ko-proklamator mengambil prakarsa itu setelah mendengar keterangan dari seorang perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang) tentang kecemasan penduduk yang beragama Kristen di Indonesia Timur (daerah kekuasaan Kaigun) dengan hidup mereka dalam negara mereka yang baru merdeka itu. Mereka konon berpendapat bahwa jika tujuh kata itu masih tercantum dalam rumusan dasar negara, mereka takut akan didiskriminasi. Mendengar hal itu, Bung Hatta membayangkan, negara kesatuan yang telah diperjuangkannya selama puluhan tahun bisa terancam bubar. Bung Hatta tentu tidak rela ancaman itu timbul, sekali pun dirinya tahu betul bahwa seorang tokoh terkemuka dalam pergerakan kemerdekaan yang berasal dari wilayah tersebut dan juga beragama Kristen, Mr. Alex Andries Maramis, tidak keberatan dengan ketujuh kata itu. Bayangkan apa jadinya RI seandainya para pendiri Bangsa dan Negara Indonesia itu tidak memiliki kebajikan yang tinggi saat menghadapi ancaman dan bahaya.
***
Indonesia merdeka dinyatakan tepat pada hari Jumat di bulan Ramadan
67 tahun silam, bulan suci tatkala umat Islam berpuasa. Sekarang, daur
kala itu berulang tepat sama, Jumat di bulan Ramadan juga. Namun
hari-hari menjelang HUT yang istimewa ini sempat dibikin gempar dengan
kabar tentang “Rhoma Irama Menggoyang SARA?”. Rhoma Irama seorang putra
Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsanya dengan musik
dangdutnya, mengikuti jejak Wage Rudolf Supratman yang berhasil
memuliakan bangsanya dengan lagu “Indonesia Raya”. “Menggoyang” tak
jelas maksudnya, maklumlah media kita yang biasa kabur, tak kecuali
siaran suatu TV swasta, Selasa malam 14 Agustus 2012.Mungkin maksudnya Rhoma bikin heboh dengan SARA, mungkin menolak berlakunya SARA, mungkin juga melanggar aturan SARA. Yang jelas “SARA” adalah ciptaan penguasa Orde Baru pada 21 Januari 1974 sebagai sebutan buat apa yang dianggap hasil “Konsensus Nasional” yang melarang pengungkapan pikiran, sikap, dan tindakan yang berbau “Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan”. Larangan ini masih dipertahankan dalam UU
Inti ceritanya begini. Haji Rhoma Irama memberikan ceramah salat tarawih di suatu masjid di Jakarta, Minggu 29 Juli 2012. Sayang, kebanyakan media massa tidak memberikan transkripsi bagian isi ceramah yang dianggap menghebohkan itu. Apa yang bisa ditangkap dari rekaman media yang tentu sudah lebih tidak jelas adalah sbb.:
“[...] Ini penting dan genting. Saya harus nyampaein [...] pada 20 September yang akan datang. [...] Islam adalah agama yang sempurna [...] Allah SWT berfirman [kutip ayat]: Hari ini telah Kusempurnakan agamamu. [Kutipan ayat] [Dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Kuridoi Islam jadi agama bagimu. [...] Tidak ada yang dilupakan [dalam] Al Qur’anul Karim, termasuk bagaimana cara memilih pemimpin. Jadi memilih pemimpin ini bukan hanya soal pemimpin, bukan hanya soal umaro, tapi sudah termasuk ibadah. Bagaimana tidak. Allah berfirman: [Kutip ayat] Hai orang-orang beriman, jangan sekali-kali engkau mengangkat pemimpin yang kafir di samping orang yang beriman. [Kutip ayat] [Tidak mengindahkan ini] akan mendapat hukuman dan azab dari Allah. Apakah kamu mau membuka peluang bagi Allah untuk menghukum kamu. Ini sanksi kalau kita memilih pemimpin yang non-muslim. Maka sanskinya adalah akan mendapat azab dari Allah SWT.”
“Dalam mengkampanyekan pemimpin, ini dibenarkan yang namanya SARA. Mengemuka-kan soal SARA dibolehkan, dibenarkan oleh Ketua Dewan Pembina KPU, Profesor Doktor Jimly Assidiqy. Kenapa? Karena sekarang zaman demokratisasi, zaman keterbukaan. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Rakyat, umat, harus diberi penjelasan siapa calon-calon pemimpin mereka. Jadi SARA dibenarkan.”
“[...] Ada dua kandidat. Kita buka siapa kandidatnya. Yang pertama, pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi. Fauzia Bowo Muslim, Nachrowi Muslim. Fauzi Bowo Betawi, Nachrowi Betawi. Harus jelas diceritakan sama umat. Zaman keterbukaan. Kemudian yang kedua, Jokowi dan Ahok. Jokowi Muslim tapi orangtuanya Kristen. Ahok sukubangsanya Cina, agamanya Kristen. Ini juga harus dijelaskan, supaya kita nggak beli kucing dalam karung.”
“[Di samping itu] sebuah ilustrasi. Tahun 72 saya di Singapura tiga hari tiga malam untuk kepentingan ‘Festival Pop Singer Asia Tenggara’. Alhamdulillah saat itu juara Pop Singer Asia Tenggara adalah Rhoma Irama (tawa dan tepuk tangan pendengar). [... Apa yang dibicarakan. [Waktu itu saya diingatkan oleh Tan Gazali Ismail]. Kasitau Ali Sadikin, Gubernur Jakarta, Hati-hati! Saya khawatir Jakarta nanti akan menjadi Singapuranya Indonesia. Dulu Singapura ini bagian dari Malaysia, tapi begitu dikepung secara ekonomi dan dikuasai secara politik, Singapura memisahkan diri menjadi negara sendiri. Negara yang tadinya wilayah Melayu menjadi negara Cina. Yang tadinya Islam, jadi negara Kristen. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. [...] Maka begitu terjadi sekarang, saya merinding jangan-jangan [...] sebentar lagi terjadi kalau umat Islam tidak bersatu. [...].”
“[...] Jokowi hanya sebagai batu loncatan saja. Sehabis Jokowi [...] siapa yang jadi gubernur? Ahok! Kalau Ahok sudah jadi seorang [...] Indonesia, martabat bangsa tergadaikan. Citra bangsa tercabik-cabik. Kalau sudah seorang Kristen memimpin Ibukota Jakarta, negeri yang mayoritas Islam ini, maka umat Islam [akan] meneguk aib besar di mata dunia internasional. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.”
***
Boleh jadi acara yang ditaja oleh suatu organisasi para pokrol di
suatu TV Swasta, Selasa malam 14 Agustus 2012, merupakan laporan
terlengkap di media massa kita. Empat pihak yang sangat berkepentingan
dalam kehebohan ini ada semua: Rhoma Irama dan pendukungnya, wakil tim
sukses Jokowi-Ahok (dengan Jokowi lewat komunikasi jarah jauh), Panwaslu
Jakarta, dan masyarakat. Termasuk dalam kelompok terakhir ini sejumlah
rohaniwan dan cendekiawan, Islam dan Kristen, bahkan ada yang profesor
doktor bekas rektor universitas Islam, dan aktivis demokrasi. Acaranya
lumayan, tapi agaknya belum sampai mengantar penonton ke pintu kebajikan
yang merupakan benang merah yang menjelujuri dasar negara Indonesia
merdeka.Semua pihak mengajukan hujah yang absah tapi tanpa tak dapat menarik kesimpulan yang paramita dari peristiwa itu. Rhoma Irama tampak sejak awal tidak pernah merasa bersalah. Dia hanya mengulangi alasan yang sudah dia tegaskan dalam ceramahnya. Ada sedikit basa-basinya, yakni meminta maaf kepada ibunda Jokowi karena menyebutnya beragama Kristen. Ketika diingatkan oleh pembawa acara bahwa hal itu tidak benar, Rhoma bilang dia baca hal itu di internet dan media sosial. Saat diingatkan lagi kenapa tidak periksa dulu kepada Jokowi sebelum mengatakan hal yang belum pasti, Rhoma tidak menjawab. Sikapnya itu berlalu begitu saja.
Panwaslu Jakarta menyatakan telah memutuskan Rhoma Irama bebas dari sangkaan pengadu telah melanggar peraturan kampanye dengan mengobarkan sentimen SARA. Berdasarkan kekuasaan “diskresi”-nya, Panwaslu juga memutuskan tidak meneruskan pengusutan perkara ke polisi. Alasannya, ceramah Rhoma “secara kumulatif” tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran ketentuan-ketentuan kampanye pemilukada seperti diatur dalam UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Surat Keputusan KPU Jakarta Jakarta no. 13/2011 tentang pelaksanaan kampanye. Unsur-unsur pelanggaran itu antara lain berkampanye di luar jadual, berkampanye di rumah ibadah, menghasut dan mefitnah. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran “secara kumulatif” samasekali tidak jelas, dan tidak juga dikejar untuk dijelaskan.
Pembawa acara mestinya menjelaskan apa itu kekuasan “diskresi”. Bilang kek kekuasaan yang memberi ruang buat pertimbangan subyektif Panwaslu. Kan tidak semua penonton adalah prokrol. Pihak wakil tim sukses Jokowi-Ahok memang megecam dasar pertimbangan keputusan Panwaslu. Wakil itu berpendapat mestinya Panwaslu tidak layak memutuskan Rhoma bebas berdasarkan hak “diskresi”-nya bila dilihat ketentuan UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Itu saja. Tidak ada tanya-jawab langsung dengan Panwaslu. Pembawa acara hanya menyampirkan pendapat bahwa Panwaslu punya kekuasaan “diskresi”, apa boleh buat.
Kecuali pendapat orang dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), pihak masyarakat yang hadir dalam acara itu pada umumnya sedikit-banyak mengecam Rhoma Irama, tapi yang paling keras dikecam adalah Panwaslu. Pendapat orang dari MUI itu terasa agak saling bertentangan. Di satu pihak dia berpendapat bahwa ceramah Rhoma tidak bersifat SARA dan sah-sah saja karena dilakukan di masjid, di depan jemaah Islam, dalam bulan Ramadan lagi. Namun di pihak lain dia menyarankan agar dalam Pemilukada Jakarta Jakarta putaran kedua nanti dilaksanakan dengan semangat persaingan sehat, tanpa membawa-bawa sentimen SARA. Indonesia bukan negara Islam, katanya, tapi negara Pancasila.
Profesor doktor yang bekas rektor itu dengan jelas mengatakan bahwa tafsiran Rhoma Irama tentang ayat-ayat yang dikutipnya itu harusnya ditafsirkan secara kontekstual, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Indonesia sarat keberagaman sehingga semua kepentingan harus diperhatikan. Namun kemudian ada pendapat yang menyanggah bahwa tidak semua ayat boleh ditafsirkan. Sayang, profesor doktor bekas rektor yang terkenal rendah hati itu tidak menanggapi lagi. Pendapat seorang rohaniwan Kristen (Katolik) dan seorang peserta lain hampir sama saja. Yang mereka tegaskan hanyalah Indonesia sebagai negara-bangsa berdasarkan Pancasila, dan seyogyanya dasar itulah yang dijadikan patokan berpolitik. Seorang perempuan aktivis paling sengit menyalahkan Panwaslu. Dua hari sebelumnya, katanya, dia ke kantor Panwaslu. Dia lihat Panwaslu tampak letih-lesu tak berdaya menghadapi peristiwa itu, tapi mendadak mereka dapat mengeluarkan keputusan begitu tegas bahwa penceramah tidak bersalah. Apa kerjanya para pejabat yang bertanggungjawab yang digaji dari uang rakyat, begitu katanya.
***
Terus terang, SARA ini perkara yang muskil. Untuk memudahkan
pengertiannya kita terpaksa menggantinya dengan istilah yang lebih umum,
DISKRIMINASI. Dalam kajian ilmu sosial mutakhir, SARA dapat diganti
dengan ETNITISME (ethnitism). Dihadapkan dengan kesetaraan warganegara,
SARA adalah diskriminasi sosial berdasarkan pengelompokan yang mencakup
suku, agama, ras, dan lapisan sosial. Tegasnya, diskriminasi sosial
tidak dapat dikecam atau dibela berdasarkan undang-undang dan peraturan.
Diskriminasi sosial kebal terhadap segala macam prosedur.Tentang kemuskilan SARA ini majalah kita nanti akan menurunkan rangkaian kajian lebih rinci. Dalam kesempatan ini cukuplah ditegaskan bahwa lima kebajikan tersebut pada awal tulisan ini, yang menjelujuri terbentuknya negara kita, layaklah diterapkan juga dalam memahami SARA. Sekedar contoh penerapannya, bayangkanlah seandainya profesor doktor yang bekas rektor itu tidak terlalu rendah hati untuk menyanggah pendapat bahwa tidak semua ayat Al Qur’an bisa ditafsirkan. Bahkan ayat yang bicara sangat jelas (sharih) pun masih ditafsirkan, apalai yang tersirat (muhtamal). Bayangkan seandainya dia berlaku seperti Prof. Dr Riffat Hassan, perempuan asal Pakistan, dalam Konferensi Internasional tentang Islam dan Abad XXI di Universitas Leiden, Nederland, 3-7 Juni 1996, maka pendengar akan mendapatkan gugahan rohani yang luar biasa besarnya.
Cara penafsiran Riffat Hassan tampak lebih klasik daripada kontekstual, yakni bergerak dari yang khusus ke yang umum, sehingga seirama dengan hakekat semua agama sebagai jalan persentuhan dengan yang ilahi, yakni transendensi. “Seorang Muslim,” kata Riffat Hassan, “pertama-tama berarti percaya kepada Allah pencipta dan pengasih manusia serta alam semesta (Rab al-’alamin). Menurut Qur’an, yang bagi dirinya merupakan sumber utama ajaran Islam, ciptaan Allah itu adalah demi ‘tujuan yang benar’ (15:85), samasekali bukan untuk ‘permainan yang sia-sia’ (21:16). Manusia, yang dibentuk ‘menurut acuan yang terbaik’ (95:4), diciptakan untuk ‘menyembah Allah’ (51:56).”
Dengan demikian, Riffat Hassan menyimpulkan, bagi seorang Muslim (percaya kepada Allah), menyembah Allah (Haquq Allah) tak bisa dipisahkan dari mengabdi kepada kemanusiaan (Haquq al-’ibad). Menunaikan tugas kepada Allah dan kemanusiaan adalah batu sendi kebajikan seperti dirumuskan dalam Al-Baqarah (2:177). Iman dan amal, salat dan zakat, tak mungkin dipisahkan. Itulah yang disebut “berjalan di jalan Allah” (jihad fi sabil Allah). Dialah yang berani berdiri sesuai fitrahnya sebagai kalifah Allah di dunia, berani menguji segala aturan dengan kritik akal budinya. Dialah yang berani memahami bahwa Qur’an merupakan “Magna Carta” bagi kebebasan manusia dari kungkungan tradisionalisme, segala bentuk otoritarianisme (agama, politik, ekonomi), kesukuan, dan rasisme. Batas kebebasan itu hanyalah “kembali kepada Allah” (53:42). Baginya Allah menganugerahi manusia keaneka-ragaman (49:13), sehingga seorang Muslim harus mampu menerima saudaranya yang tidak memeluk Islam, bahkan yang mecurigai dan memusuhinya, dengan rasa persaudaraan, dialog, dan niat baik!■ (Parakitri T. Simbolon, 16 Agustus 2012). sumber : zamrudkatulistiwa.com
saya sedih mendengar ini
BalasHapusSeorang WNI (Warga Negara Indonesia) sebaiknya mengedepankan sikap peduli terhadap kemajuan bangsanya. Kita memilih seorang pemimpin utk menjalankan bansanya, bukan memilih agama utk memimpin.
BalasHapus*Ijin Share pak Chandra*