Ini curhat seorang kawan, kebetulan perempuan. Dulu,
dia adalah karyawati di salah satu agency Public Relations yang cukup terkenal.
Klien-klien dan acara-acara besar, jadi santapannya tiap minggu.
Secara
pengalaman, sekitar 10 tahun dengan reputasi baik, tentu tak perrlu diragukan
lagi. “Kelemahannya” hanya satu: kawan saya ini tidak cantik. Dan hal ‘konyol’ inilah yang membuatnya merasa “terintimidasi”.
KETIKA memutuskan keluar
dan mengambil waktu beberapa saat untuk bersenang-senang bersama keluarga,
kawan saya ini –sebut saja namanya Denok—pikirannya memang masih terpikir untuk
bekerja di bidang yang dikuasainya ini.
Sembari berlibur, Denok mencoba
menghubungi beberapa kawan di perusahaan PR lain yang mungkin sedang membuka
lowongan. Sampai akhirnya ada satu perusahan PR besar memanggilnya untuk
interview.
Dan datanglah Denok ke
kantor PR Agency tersebut. Karena sudah punya pengalaman cukup lama, wawancara
hanya seputar pekerjaan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Tidak ada
pertanyaan soal gaji yang diminta atau hal-hal yang menunjukkan antusiasme si
pewawancara yang berjanji akan menghubungi untuk hasilnya [alasan klise yang
kerap diucapkan perusahaan].
Seminggu berlalu tidak ada
telpon atau informasi apapun soal diterima atau tidaknya. Hingga akhirnya ada
bocoran dari orang dalam, Denok tidak diterima karena: Tidak Cantik ! !
Terlepas dari kinerja yang
tidak dinilai, tapi hal ini amat sangat menganggu saya. Bahwa pernyataan itu
dikeluarkan oleh pewawancara yang menurut kawan saya itu juga seorang
perempuan, sangatlah ironis.
Memang, dunia PR membutuhkan penampilan dan fisik
yang memadai, karena harus berhadapan dengan banyak orang. Tapi apakah karena
alasan-alasan itu kemudian mengesampingkan pengalaman, keahlian, kemampuan dan
kecerdasan, seorang perempuan yang kebetulan tidak dianggap cantik.
Tampaknya pewawancara ini
belum membaca buku Naomi Wolf “Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas
Perempuan”. Banyak orang, bahkan perempuan itu sendiri, terjebak mitos
Kecantikan yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat, khususnya kaum
perempuan, lewat berbagai macam media: iklan televisi, majalah-majalah
kecantikan, tulisan-tulisan mengenai kecantikan perempuan yang diperkuat dengan
budaya patriarkhi, menyebabkan kaum perempuan terjebak pada keinginan untuk
selalu tampil cantik dan menjadi sangat memuja berat badan ideal.
Intimidasi gender seperti
ini, seperti gunung es, tidak tampak tapi sebenarnya pucuknya meleleh. Agak
menggelikan ketika kualitas seseorang bukan dilihat dari karya dan kemampuannya
bekerja, tapi karena bentuk fisik dan olah kecantikkan.
Kekhawatiran Naomi Wolf
sangatlah wajar melihat gencarnya serangan kecantikan yang semakin memojokkan
kaum perempuan dalam ruang publik dan politik. Setiap hari kaum perempuan
diyakinkankan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum
perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan.
Makin menggelikan, ketika
kemudian dilakukan oleh perempuan juga. Dan itulah yang terjadi pada
kawan saya. Untungnya, kawan saya ini kemudian tidak terjebak pada mitos
kecantikan dan berusaha melakukan operasi plastik. Iya kalau plastiknya bagus,
kalau dari lelehan ember, kan malah repot jadinya.
Link => http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/11/07/gagal-diterima-kerja-alasannya-tidak-cantik-608387.html#
Link => http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/11/07/gagal-diterima-kerja-alasannya-tidak-cantik-608387.html#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar