Rabu, 06 November 2013

Kasih Ibu Sepanjang Jalan......



Saya tak tahu peribahasa mana yang mengatakan “kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah” apakah benar atau tidak. Di dalam dinamika sosial, apakah kasih dapat diukur dengan mistar, jangka sorong, neraca, atau sebagainya? 
Kasih -sepanjang yang saya tahu- adalah soal rasa, soal perasaan, dan kepekaan seseorang untuk menilai sisi penyayangan umat manusia.

Bagaimana kasih ibu sepanjang jalan? Apa ukurannya? Saya pernah bertanya kepada nenek saya mengenai hal ini. Mengapa kasih ibu sepanjang jalan? 
Apakah tidak ada yang lain sebagai dasar ukuran? Hanya sepanjang jalan sajakah? Nenek saya menjawab sangat mudah: karena kasih seorang ibu itu tidak ada batasannya.

Sejenak saya berpikir benarkah tiada batasannya jika diukur dengan acuan jalan? Dengan mengandung, tergopoh-gopoh berjalan dengan perut yang semakin besar, semakin menua, bisa diukur dengan jalan. Melahirkan, menyusui, dan menjaga sampai anak itu bisa melepaskan diri dari ibunya. Menjaga ketika sakit, mengajarkan, dan memberi makan.  Menjadi teman curhat, teman perjalanan, teman suka dan duka. Banyak hal yang ibu berikan kepada seorang anak tetapi hanya diukur dengan sepanjang jalan. Lantas, jalan yang manakah yang menjadi fondasi ukuran tersebut?

Sewaktu SD, guru saya pernah menyinggung hal ini. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Guru saya mendeskripsikan kasih ibu itu seperti jalan tol, terus mengalir tiada henti. Saya sempat protes kepada beliau: “Pak, jalan tol juga macet, Pak!” Balasannya adalah: “macet itu ketika ibumu sakit atau sedang bersedih.” Baiklah, persepsi itu saya terima. Kemudian beliau membentangkan mistar 30 sentimeter dan berkata, “Nak, kasih anak itu sepanjang galah. Galah itu sepanjang ini!” Saya hanya diam dan berpikir saja mengenai jalan dan galah itu.

Semenjak saat itu, saya tak pernah menerima bahwa kasih ibu itu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dengan pepatah itu. Mana bisa kita menyatakan kasih ibu itu sepanjang jalan? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: apa balasan anak kepada ibunya sehingga bisa diukur sepanjang galah?

Kembali lagi kepada nenek saya. Saya bertanya mengapa hanya sepanjang galah. Apakah tidak ada yang lebih panjang atau lebih pendek lagi? Jawabannya: karena galah itu benda yang pendek, kadang kedua ujungnya bisa dipegang oleh satu orang. Lho, bukannya masih banyak benda yang bisa semacam itu? Lalu, memang tidak sepanjang jalankah? Bukannya mereka juga tidak pernah dituntut untuk dilahirkan?

Abraham Lincoln sebagai anak pernah menulis:
I remember my mother’s prayers and they have always followed me.  They have clung to me all my life. (Saya mengingat doa-doa ibu saya dan doa itu selalu mengikuti saya. Doa-doa itu melekat kepada saya sepanjang hidup saya)

Apakah ibu bahagia ketika kasihnya diukur hanya dengan jalan? Apakah ibu puas kasihnya hanya sepanjang jalan? Apakah ibu senang kasihnya sebatas jalan semata? Apakah anak bangga kasihnya sepanjang galah? Apakah anak merasa lega kasihnya yang diberikan hanya sebatas galah?

Uang bisa dinilai, harta bisa diukur. Sekaya apapun ibu kita, semiskin apapun ibu kita. Material bisa dijumlahkan, dikurangi, dikali, dan dibagi. Bagaimana dengan kasih? Apa ukuran dasar untuk sebuah kasih sehingga Abraham Lincoln bisa menulis demikian?

Banyak pertanyaan di dalam benak saya. Saya tidak pernah mengamini bahwa kasih ibu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dan saya acap kali memberontak dengan keadaan itu. Kasih itu soal rasa, soal hati. Kalau diukur seperti jalan, seperti galah, saya tak akan pernah mampu mengukurnya. Kasih ibu itu tidak sepanjang jalan dan kasih anak itu tidak sepanjang galah.

Saya mengukurnya dengan rasa, bukan dengan satuan semacam itu. Kasih ibu yang saya rasakan selama saya hidup itu tidak ada batasannya. Tidak terdefinisi. Tidak terhingga. Dan kasih yang saya balaskan kepada ibu saya adalah kasih yang tidak ada bedanya dengan isapan jempol semata. Itulah yang membuat saya tetap bertahan mengapa kasih anak itu bukan sepanjang galah, ketika saya merasa kasih saya sudah di seberang galah, saya merasa: cukup. Dan itu tidaklah cukup untuk membahagiakan seorang ibu. Ibu yang pernah ada di dunia ini. Ibu yang tak pernah menuntut banyak dari anaknya. Ibu yang menilai semua hal secara: gratis. Ibu yang paling saya muliakan di dunia.


Selamat pagi ! 


http://www.youtube.com/watch?v=k4BhAfbl_m8


Link => http://littlepath.tumblr.com/post/38533822422/repost-kasih-ibu-itu-tidak-sepanjang-jalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar