Di awal era Dinasti Han (206 SM- 220 M)
di Tiongkok, berlaku undang-undang “Lima Hukuman”, di mana empat di
antaranya merupakan hukuman fisik yang keras. Sistem pidana ini, pernah
diberlakukan secara luas selama pemerintahan dinasti sebelumnya, Dinasti
Qin (221-206 SM), dan masih dipertahankan pada pemerintahan dinasti
berikutnya.
Keempat bentuk hukuman ini akan
meninggalkan luka fisik yang pada umumnya dianggap oleh pejabat
pemerintah sebagai hukuman yang pantas bagi pelaku kriminal. Hukuman itu
meliputi amputasi hidung, telinga, anggota badan lainnya, atau wajah
yang ditato untuk menunjukkan hukuman.
Namun,
karena keberanian Ti Ying (緹縈), seorang gadis remaja yang pemberani,
praktek brutal dan tidak manusiawi ini berhasil dihapuskan di bawah
pemerintahan Kaisar Wen Han (漢皇帝).
Ti
Ying adalah anak bungsu dari lima putri seorang dokter bernama Chunyu
Yi. Pada awalnya, sang ayah bekerja sebagai pejabat yang berpangkat
rendah, tetapi kemudian menjadi seorang dokter berpangkat tinggi setelah
berhasil menyelesaikan studinya pada seorang dokter terkenal.
Daripada
mengabdikan dirinya untuk mengobati kaum bangsawan, Chun Yi lebih
menyukai berkeliling pedesaan untuk menawarkan jasanya kepada masyarakat
umum. Ia mendapat reputasi yang luar biasa atas keterampilan medisnya,
dan mulai dicari oleh banyak orang.
Chunyu
Yi mengambil pendekatan yang sangat realistis dan ilmiah dalam
pengobatannya, serta berperilaku jujur atas kesalahannya sendiri dan
kegagalan dalam diagnosis maupun perawatan.
Keberanian dan Rasa Bakti
Namun, ketika Chun Yi gagal menyelamatkan nyawa istri seorang hartawan, seorang wanita yang sudah sakit parah, membuat sang suami menjadi sangat murka, dan mulai melancarkan tuduhan bahwa pengobatan Chunyu Yi yang menjadi penyebab kematian istrinya.
Namun, ketika Chun Yi gagal menyelamatkan nyawa istri seorang hartawan, seorang wanita yang sudah sakit parah, membuat sang suami menjadi sangat murka, dan mulai melancarkan tuduhan bahwa pengobatan Chunyu Yi yang menjadi penyebab kematian istrinya.
Pria
itu orang yang sangat berpengaruh, dan segera saja ayah Ti Ying didakwa
tanpa melalui penyelidikan terlebih dulu. Lalu Chunyu Yi dikirim ke
ibukota untuk menerima hukuman fisik yang sesuai untuknya.
Ketika ayah Ti Ying memandangi putri-putrinya yang sedang menangis meratapi kepergiannya ke ibukota, dia hanya bisa berkeluh kesah: “Aku akan dikirim ke ibukota untuk dihukum, di mana para wanita tidak bisa mendampingi, dan saya memiliki lima orang putri. Kalau saja aku punya seorang putra!”
Ti Ying mendengar
keluhan ini, dan ia membulatkan tekad untuk entah bagaimana caranya
menyelamatkan sang ayah. Dia mengikuti sang ayah melakukan perjalanan
yang melelahkan ke ibukota, bertahan dari rasa lapar dan haus.
Sesampai
di ibukota, ia memohon kepada seorang ahli tulis untuk menyusun sebuah
petisi baginya, yang ditujukan kepada Kaisar Wen. Ti Ying menyerahkan
sendiri surat itu kepada penjaga istana untuk diberikan kepada kaisar.
Ketika
kaisar mendengar ada petisi yang dikirim oleh seorang gadis muda yang
sangat berani, si kaisar menjadi tertarik untuk mendengarnya.
Dalam surat petisinya, Ti Ying menyatakan: “Sebagai seorang pejabat, ayah saya setia pada tugasnya, dan sebagai dokter ia menyelamatkan begitu banyak kehidupan. Dia telah dipuji oleh orang-orang karena integritasnya. Tapi kini dia menghadapi hukuman fisik yang berat akibat tuduhan palsu.”
“Sekali
seorang pria dieksekusi, dia tidak bisa hidup kembali. Setelah seorang
pria dimutilasi, bahkan jika ia dikemudian hari terbukti tidak bersalah,
dia akan menderita cacat seumur hidupnya, dan tidak ada cara untuk
membalikkan penderitaan yang telah ia alami. Bahkan sekalipun ia ingin
memulai sesuatu yang baru, dia tidak akan mampu melakukannya.”
“Saya
mendengar cerita tentang bagaimana seorang putra dapat menebus rasa
bersalah seorang ayah,” lanjutnya. “Sebagai seorang putri, saya bersedia
menebus dosa ayah saya dengan menjadi budak Paduka selama sisa hidup
saya. Saya mohon Paduka untuk membebaskannya dari hukuman ini, dan
dengan demikian ia akan memiliki kesempatan untuk membuat awal yang
baru.”
Petisi Ti Ying tidak hanya
meminta pengampunan bagi ayahnya tetapi juga menunjukkan ketidakadilan
dan kekejaman hukuman fisik, dan bagaimana hal itu tidak memberikan
kesempatan bagi terpidana untuk merehabilitasi. Alasan yang disampaikan
Ti Ying begitu baik sehingga pejabat pengadilan terkesan dengan
kefasihannya.
Kaisar Wen juga sangat
tersentuh oleh permohonan Ti Ying. Kaisar kagum dengan keberanian gadis
muda ini, karena bersedia menanggung penderitaan untuk mendampingi
ayahnya ke ibukota, dan berkomitmen hidup sebagai budak sebagai
pertukaran bagi kesejahteraan orang lain.
Kaisar
tidak hanya menolak menerima pertukaran yang ditawarkan Ti Ying, namun
ia juga memaafkan ayah Ti Ying, dan mengambil perkataan gadis muda itu
untuk menghapus hukuman fisik yang kejam.
Kisah keberanian Ti Ying dan rasa baktinya menjadi terkenal di Tiongkok, sehingga mendorong seorang sejarawan berkomentar, “Banyak putra yang berguna, tetapi kalau saja aku punya putri seperti Ti Ying!” (ajg/epochtimes/yant) era baru.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar