Kay, Adik yang merepotkan
Aku punya adik namanya Kay. ia
baru berumur 4 tahun. Seorang adik laki-laki yang menurutku sangat merepotkan aku, ayah dan
Ibu. Sekarang ini aku sudah duduk dibangku kelas 6 SD dan aku ditugasi ibu untuk sesekali
mengajarinya membaca. Tugas yang menurutku paling susah sedunia.
Kay tidak mau diatur, dia mau
caranya sendiri. Jika aku marah ia balik marah padaku. Ketika aku menasehatinya
aku malah didiamkan dan pergi mengadu pada Ibu, sampai-sampai aku kehilangan kesabaran, eh malah ia mencubitku dan aku pun balas mencubitnya.
Jika sudah demikian
masalah menjadi tambah runyam, malah aku yang dimarahi ibu. Uh… Sepertinya
tidak ada hari tanpa pertengkaran dengannya. Pernah satu waktu aku mengajarinya
membaca aku sungguh tidak sabar menghadapinya, aku membentaknya, “ Kay mau
belajar atau main?’ nadaku begitu keras. Ia tiba-tiba malah memukul pipiku. Aku
menjerit dan menangis masuk ke dalam kamar. Aku mengunci kamar dan merasa putus
asa menghadapi adikku. Pernah terpikir olehku untuk tidak memiliki adik seperti
ini. Aku ingin sekali bilang pada ayah dan Ibu agar memasukkannya ke panti
asuhan. Aku ingin ia jauh dariku selama-lamanya.
Namun hari ini
menjadi sangat lain. Kay yang selalu merepotkan kini diam dan terbaring lemah.
Sudah 3 hari ia berada di rumah sakit. Ia sakit demam berdarah dan saat ini
adalah saat-saat kritis. Ibu dan ayah nampak begitu gusar dan tidak bisa
menyembunyikan air mata mereka. Terlebih ibu, ia agak menyesal karena terlambat mengetahui
Kay sakit demam berdarah. Ibu mengira hanya demam biasa karena ibu yakin Kay
akan segera baik-baik saja. Seingatku juga, Kay, tidak pernah sakit. Ia adik
yang sangat sehat. Kami betul-betul gelisah mendengar keterangan dokter bahwa
kami sudah agak terlambat datang, namun mereka akan berusaha ….
Kejadian ini membuat aku kembali mengingat hubunganku dengan
Kay. Aku takut kehilangan adikku. Aku pun menangis betapa ternyata ia
berharga. Aku menjadi rindu duduk bersamanya, mendengar celotehnya, bahkan aku
rindu cubitannya yang begitu menyakitkan. Aku jadi begitu ingin ia cepat sembuh
dan nakal kembali seperti biasa, “ Kay cepatlah sembuh. Kakak akan lebih sabar
padamu.” Tanpa sadar aku berucap itu hingga terdengar ayah dan ibu. Aku sudah
tidak bisa menyembunyikan perasaanku, ayah dan Ibu pun memeluk aku. “Mari kita
berdoa bersama untuk kesembuhan Kay”, ayah kemudian memimpin doa. Malam itu
adalah malam yang sangat panjang dan menakutkan. Menurut dokter malam ini adalah masa kritis, kami
diminta untuk senantiasa berjaga. Tuhan, Aku takut kehilangan adikku.
Beruntung, aku
menghadapi ini bersama papa mama, tak terbayang jika aku menghadapinya seorang
diri.
Kejadian ini mempengaruhi hubungan kami sekeluarga. Aku
melihat ayah begitu tegar dan terus berusaha menenangkan Ibu dari rasa
bersalahnya. Terlihat oleh mataku, Ayah memang menyayangi mama dan
berusaha melindungi kami di masa sulit ini. Kehadiran ayah membuatku yakin
semua akan baik-baik saja. Padahal sebelumnya aku merasa ayah adalah orang yang
egois dan sibuk dengan pekerjaannya saja. Sempat aku berniat tidak mau
berbicara lagi dengan ayah. Ayah makasih dan maafkan Dini selama ini yang
selalu menuntut. Tuhan terima kasih atas keluarga yang indah ini. Semua rasanya
menjadi lebih kuat jika dihadapi bersama.
Keesokan paginya
seperti sebuah mujijat, Kay bangun. Ia langsung tersenyum padaku. Ia bercerita
dia bermimpi bertemu aku. “ Di mimpi, Kakak Dini lagi menangis, aku bingung kenapa kok
kakak menangis. Terus aku menghibur kakak dengan nyanyian yang kakak ajari aku.
Tiba-tiba kakak tidak nangis lagi, tersenyum, tertawa dan akhirnya kita bermain
bersama. Kak, aku mau menyanyikan lagu itu untuk kakak. Sambil ia bernyanyi
tanpa sadar aku meneteskan air mata, “Kay, aku mengasihimu, aku berjanji akan
lebih sabar padamu. Aku memeluknya dengan lembut. Keesokan harinya Kay sudah
baikan dan Lusanya sudah lebih
sehat dan mulai nakal
lagi. Terima kasih Tuhan, adikku sembuh.
Semenjak peristiwa itu aku lebih
sabar dan mencoba mengerti dirinya. Ternyata ia tidak semerepotkan dulu. Ia
hanya minta dimengerti dan ditemani lebih lama. Itu saja. Ibu diam-diam
mengamati perubahan sikapku pada Kay, “ Ibu bangga padamu, Dini, engkau sungguh
menjadi kakak yang bertanggung jawab. Terima kasih sudah membantu Ibu ya. “
Sama- sama Bu, aku juga bangga menjadi kakaknya Kay.” Kemudian kami saling
merangkul dan Ibu menciumi keningku.
Tantangan : apakah Aku bisa lebih
sabar menghadapi keluargaku?
Cerita Moral : Kay, Adik yang Merepotkan : KaMo Homeschooling Community WA 0852 68506155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar