Minggu, 24 Juni 2018

Cerita Moral : Pitok si Anak Kampung : KaMo Homeschooling Community WA 0852 68506155



Pitok si Anak Kampung

 

Sudah 40 tahun lewat aku tidak mendengar kabar tentang Si Pitok. Aku baru mendengar tentangnya baru-baru ini karena sekolah dasar kami mengadakan reuni. Dan katanya, Si Pitok berperan sekali dalam acara reuni kali ini. Dalam perjalanan, Aku bertanya-tanya kok bisa. Padahal dulu Pitok adalah anak yang sangat tidak diperhitungkan. Anak yang sangat biasa dan cenderung diremehkan. Beberapa kenangan tentang Pitok pun menghampiriku
“Pitok, Pitok, kok tidak mengerti-ngerti. Saya hampir hilang kesabaran mengajarmu! Sampai kapan bodohmu ini hilang?” Ujar Pak Maman - guru matematika kami - sambil menunjuk-nunjuk ke wajah Pitok. Pitok hanya bisa terdiam, ia memang mengalami kesulitan di pelajaran matematika. 

“Pitok, Pitok… Kamu ini lusuh bener jadi anak. Orangtuamu apa tidak memperhatikanmu. Tidak pernah membelikan sepatu atau baju baru yah?? Setahun ini Ibu sering jengkel melihat penampilanmu! Jelek bener! Maaf ya Pitok! Kayak anak gembel gitu.” Ibu Dela adalah guru Bahasa Indonesia kami. Jika pelajaran sering  kami disuruh maju ke depan kelas untuk membuat contoh-contoh kalimat. Jadi mau tidak mau ibu Dela bisa melihat penampilan kami satu persatu dengan jelas. Yang menyedihkan, di setiap pelajaran Ibu Dela, Pitok pasti disuruh maju ke kelas.
Beberapa guru juga sering memberikan komentar yang tidak menyenangkan hati  tentang Pitok. Ia sering mendapatkan perlakuan  tidak sepantasnya karena keadaannya yang  memprihatinkan. Orangtuanya adalah buruh tani dan tidak punya lahan. Ibunya bekerja sebagai pembantu di rumah majikan bernama Tuan Djafar - salah satu orang terkaya di kampung kami. Walaupun orangtua Pitok sudah bekerja, namun tetap saja mereka berkekurangan. Terlebih Pitok masih memiliki 3 orang adik yang masih kecil-kecil. Jadi sebenarnya Pitok bisa bersekolah saja sudah merupakan keajaiban.
Aku juga ingat, walaupun Pitok adalah anak  sederhana, ia adalah salah satu anak yang paling rajin dan bertanggung jawab. Ia adalah anak yang datang terlebih dahulu. Walau bukan tugasnya piket kelas, tetapi ia melakukannya. Ia menyapu dan membawakan bunga untuk ditaruh di meja guru. Ia mengerjakan semua tugasnya dengan tepat waktu walau lebih banyak salahnya. Maklum jika kebanyakan dari kami berkesempatan mendapatkan les tambahan, Pitok tidak. Ia tidak mampu menyediakan seliter beras pengganti les tambahan. Pitok tidak pernah dihukum karena keterlambatan. Ia selalu hadir bahkan ketika badannya sakit, tetap bersikeras untuk sekolah. Kalau aku jadi kepala sekolah aku ingin memberi juara kedisiplinan untuk Pitok, sayang banyak yang tidak menyadari usahanya ini.
Aku lalu teringat Johan. Ia anak yang paling sering ngerjain Pitok. Ia meledek dan sering menyuruh-nyuruh Pitok. Ledekan yang kami sering dengar dari Johan adalah “Si Kampung”. Johan memang anak pejabat. Ayahnya adalah lurah di daerah kami.  Dia merasa berhak untuk berlaku apa saja terlebih pada si Pitok yang miskin, tampang bodoh, gembel lagi …. Seingatku kami pun sering menertawakan dia, bahkan ketika acara perpisahan sekolah kami menyebutnya ‘Pitok Si Anak Kampung’. Anehnya ia tidak membalas ejekan kami, malah ia hanya tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. Sempat aku bertanya apakah ia sakit hati. “Aku malah kasihan kepada mereka yang mengejekku. Sebetulnya ketika mereka menghina, mereka menghina diri mereka sendiri.” Kata-kata itu seperti kembali terngiang di kepalaku. Pitok tahu jika membalas ejekan berarti ia sendiri kurang menghargai dirinya. Kejadian ini yang membuat aku kagum padanya.
Satu lagi kejadian unik yang membuat Pitok begitu berkesan padahal ia miskin dan sangat membutuhkan uang, tetapi ia tidak mengambil kesempatan pada apa yang bukan menjadi miliknya. Ia menemukan dompet, dan ternyata dompet tersebut adalah dompet Pak Djafar – sang majikan kepada siapa ibunya bekerja. Aku dan beberapa teman menjadi saksi, lalu mengantarkan dompet tersebut. Pak Djafar sangat berterima kasih. Ia bahkan memberi kami uang, tapi anehnya si Pitok tidak mau menerima uang tersebut. Malah ia berkata, “Terima kasih Pak Djafar sudah mau menerima ibu bekerja selama ini.”
Segera setelah sampai ke  gedung reuni aku bergegas mencari Pitok. Ternyata mudah menemukannya. Ia malah menggunakan sebuah kaos berwarna kuning menyala dan ada tulisan hitam besar:  Pitok Si Anak Kampung. Ia tengah dikerumuni teman-temanku. Aku pun segera datang dan berteriak, “Hei Pitok, masih ingat gua nggak?” Katanya: “Hahaha …. Danu, gimana Gua bisa lupa ama gua. Lu dulu orang yang sering kasih makan gua ….”
Kami pun larut dalam pembicaraan orang dewasa. Kami berbagi cerita suka dan duka. Kehidupan kami berkeluarga dan pekerjaan kami masing-masing. Pitoklah yang menjadi bintang hari itu. Banyak teman bertanya kok bisa dia menjadi orang berhasil … Aku mendengar kisahnya dengan seksama. Ia merumuskan 3 nilai hidup agar berhasil dalam hidup:  jujur, disiplin, dan menghargai orang lain. Pitok berhasil menyelesaikan kuliahnya hingga S2 dan ternyata ia diangkat anak oleh Pak Djafar. Selanjutnya ia dipercaya untuk mengelola usaha-usaha pak Djafar di luar kota. Aku bergumam dalam hati, memang sudah sewajarnya ia berhasil …. 

 Cerita Moral : Pitok si Anak Kampung : KaMo Homeschooling Community WA 0852 68506155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar