Pitok si Anak Kampung
Sudah 40
tahun lewat aku tidak mendengar kabar tentang Si Pitok. Aku baru mendengar
tentangnya baru-baru ini karena sekolah dasar kami mengadakan reuni. Dan
katanya, Si Pitok berperan sekali dalam acara reuni kali ini. Dalam perjalanan,
Aku bertanya-tanya kok bisa. Padahal dulu Pitok adalah anak yang sangat tidak
diperhitungkan. Anak yang sangat biasa dan cenderung diremehkan. Beberapa
kenangan tentang Pitok pun menghampiriku
“Pitok, Pitok, kok tidak mengerti-ngerti. Saya hampir hilang
kesabaran mengajarmu! Sampai kapan bodohmu ini hilang?” Ujar Pak Maman - guru matematika kami - sambil menunjuk-nunjuk ke
wajah Pitok. Pitok hanya bisa terdiam, ia memang mengalami kesulitan di
pelajaran matematika.
“Pitok, Pitok… Kamu ini lusuh bener jadi anak. Orangtuamu apa
tidak memperhatikanmu. Tidak pernah membelikan sepatu atau baju baru yah??
Setahun ini Ibu sering jengkel melihat penampilanmu! Jelek bener! Maaf ya
Pitok! Kayak anak gembel gitu.” Ibu Dela adalah guru
Bahasa Indonesia kami. Jika pelajaran sering kami disuruh maju ke depan kelas untuk membuat
contoh-contoh kalimat. Jadi mau tidak mau ibu Dela bisa melihat penampilan kami
satu persatu dengan jelas. Yang menyedihkan, di setiap pelajaran Ibu Dela, Pitok
pasti disuruh maju ke kelas.
Beberapa guru juga sering memberikan komentar yang tidak
menyenangkan hati tentang Pitok. Ia sering
mendapatkan perlakuan tidak sepantasnya
karena keadaannya yang memprihatinkan.
Orangtuanya adalah buruh tani dan tidak punya lahan. Ibunya bekerja sebagai
pembantu di rumah majikan bernama Tuan Djafar - salah satu orang terkaya di
kampung kami. Walaupun orangtua Pitok sudah bekerja, namun tetap saja mereka berkekurangan. Terlebih Pitok masih memiliki 3 orang adik yang masih
kecil-kecil. Jadi sebenarnya Pitok bisa bersekolah saja sudah merupakan keajaiban.
Aku juga ingat, walaupun Pitok adalah anak sederhana, ia adalah salah satu anak yang
paling rajin dan bertanggung jawab. Ia adalah anak yang datang terlebih dahulu.
Walau bukan tugasnya piket kelas, tetapi ia melakukannya. Ia menyapu dan
membawakan bunga untuk ditaruh di meja guru. Ia mengerjakan semua tugasnya
dengan tepat waktu walau lebih banyak salahnya. Maklum jika kebanyakan dari kami
berkesempatan mendapatkan les tambahan, Pitok tidak. Ia tidak mampu menyediakan
seliter beras pengganti les tambahan. Pitok tidak pernah dihukum karena
keterlambatan. Ia selalu hadir bahkan ketika badannya sakit, tetap bersikeras
untuk sekolah. Kalau aku jadi kepala sekolah aku ingin memberi juara
kedisiplinan untuk Pitok, sayang banyak yang tidak menyadari usahanya ini.
Aku lalu teringat Johan. Ia anak yang paling sering ngerjain
Pitok. Ia meledek dan sering menyuruh-nyuruh Pitok. Ledekan yang kami sering
dengar dari Johan adalah “Si Kampung”. Johan memang anak
pejabat. Ayahnya adalah lurah di daerah kami.
Dia merasa berhak untuk berlaku apa saja terlebih pada si Pitok yang
miskin, tampang bodoh, gembel lagi …. Seingatku kami pun sering menertawakan dia, bahkan
ketika acara perpisahan sekolah kami menyebutnya ‘Pitok Si Anak Kampung’. Anehnya
ia tidak membalas ejekan kami, malah ia hanya tersenyum seperti tidak terjadi
apa-apa. Sempat aku bertanya apakah ia sakit hati. “Aku malah kasihan kepada mereka
yang mengejekku. Sebetulnya ketika mereka menghina, mereka menghina diri mereka
sendiri.” Kata-kata itu seperti kembali terngiang di kepalaku. Pitok
tahu jika membalas ejekan berarti ia sendiri kurang menghargai dirinya.
Kejadian ini yang membuat aku kagum padanya.
Satu lagi
kejadian unik yang membuat Pitok begitu berkesan padahal ia miskin dan sangat
membutuhkan uang, tetapi ia tidak mengambil kesempatan pada apa yang bukan
menjadi miliknya. Ia menemukan dompet, dan ternyata dompet tersebut adalah
dompet Pak Djafar – sang majikan kepada siapa ibunya bekerja. Aku dan beberapa
teman menjadi saksi, lalu mengantarkan dompet tersebut. Pak Djafar sangat
berterima kasih. Ia bahkan memberi kami uang, tapi anehnya si Pitok tidak mau
menerima uang tersebut. Malah ia berkata, “Terima kasih Pak Djafar sudah mau menerima
ibu bekerja selama ini.”
Segera setelah sampai ke gedung reuni aku bergegas mencari Pitok. Ternyata
mudah menemukannya. Ia malah menggunakan sebuah kaos berwarna kuning menyala
dan ada tulisan hitam besar: Pitok
Si Anak Kampung. Ia tengah dikerumuni teman-temanku. Aku pun segera
datang dan berteriak, “Hei Pitok, masih ingat gua nggak?” Katanya:
“Hahaha
…. Danu, gimana Gua bisa lupa ama gua. Lu dulu orang yang sering kasih makan
gua ….”
Kami pun larut dalam pembicaraan orang dewasa. Kami berbagi cerita
suka dan duka. Kehidupan kami berkeluarga dan pekerjaan kami masing-masing.
Pitoklah yang menjadi bintang hari itu. Banyak teman bertanya kok bisa dia
menjadi orang berhasil … Aku mendengar kisahnya dengan seksama. Ia merumuskan 3
nilai hidup agar berhasil dalam hidup: jujur, disiplin, dan menghargai orang lain. Pitok
berhasil menyelesaikan kuliahnya hingga S2 dan ternyata ia diangkat anak oleh
Pak Djafar. Selanjutnya ia dipercaya untuk mengelola usaha-usaha pak Djafar di
luar kota. Aku bergumam dalam hati, memang sudah sewajarnya ia berhasil ….
Cerita Moral : Pitok si Anak Kampung : KaMo Homeschooling Community WA 0852 68506155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar