Di Fakultas
Studi Asia Timur universitas bergengsi, Columbia University, ada sebuah tempat
untuk studi khusus budaya Tionghoa dan ajaran Han yang dinamakan “Guru Besar
Dean Lung”, yang didirikan dan didanai oleh Horace Walpole Carpentier pada 1901,
untuk memperingati Dean Lung, seorang pelayan yang buta huruf asal Tiongkok tapi
berhati sangat mulia.
Carpentier
(1824-1918), lahir di Kota New York, lulus dari Columbia University dan kemudian
menjadi seorang pengacara. Dia menjabat sebagai walikota Oakland pertama,
Kalifornia. Pada 1888, ia kembali ke kota kelahirannya, Kota New York, dan
terpilih menjadi Dewan Pengawas di Columbia University.
Di Kalifornia,
ia mempekerjakan Dean Lung sebagai pelayannya, yang terus mengikutinya hingga
kembali ke New York. Karena pekerjaannya terlalu sibuk, sehingga membuat
Carpentier cepat naik darah, ia seringkali berkata kasar kepada Dean Lung.
Pernah suatu hari dia melempar sesuatu ke arah Dean dan memecatnya karena hal
yang sepele.
Beberapa waktu
kemudian, rumah Carpentier dilalap api. Dia tidak terluka, tapi menderita
kerugian besar. Dean Lung mendengar hal ini lantas datang menemuinya. Dia
mengatakan kepada Carpentier bahwa ia akan bekerja dengannya lagi. Carpentier
bertanya apa alasannya. Dean Lung menjawab: “Ada seorang bijak bernama Kong Zi,
yang mengajarkan orang untuk menjadi pemaaf dan toleran. Dia bahkan berkata:
“Jangan lakukan kepada orang lain apa yang Anda tidak ingin dilakukan untuk diri
sendiri.” Sekarang, rumah Anda dibakar oleh api dan Anda hidup sendirian. Saya
telah bekerja pada Anda sebelumnya dan merasa kasihan terhadap Anda. Itu
sebabnya saya ingin terus melayani Anda.”
Carpentier
memuji Dean Lung dan berkata: “Saya tidak tahu bahwa Anda senang membaca dan
memahami ajaran-ajaran kuno.” Dean Lung menjawab bahwa dia buta huruf dan apa
yang ia ketahui berasal dari penuturan ayahnya.
Carpentier
sangat terkejut dan berkata: “Sangat baik bahwa ayah Anda suka mempelajari
ajaran-ajaran kuno.”
Dean Lung
menjawab: “Ayah saya juga buta huruf dan begitu pula kakek dan kakek buyut.
Namun, ajaran Konfusius adalah tradisi keluarga kami dan diturunkan dari
generasi ke generasi.”
Carpentier
sangat tersentuh setelah mendengarnya dan memperlakukan Dean Lung seperti
seorang teman. Sejak itu dia tidak pernah berkata kasar lagi kepada Dean
Lung.
Beberapa tahun
kemudian, Dean Lung sakit parah. Dia mengatakan kepada Carpentier: “Saya hidup
bahagia dan tidak memiliki kekhawatiran. Saya akan segera meninggalkan dunia
ini. Seluruh upah yang Anda berikan, saya masukan dalam tabungan. Karena saya
tidak mempunyai keluarga maupun teman, saya ingin memberikan uang ini kepada
Anda sebagai rasa terima kasih atas kebaikan Anda selama ini.”
Carpentier kemudian memutuskan untuk menyumbangkan uang tersebut, ditambah
uangnya sendiri, mendirikan tempat “Guru Besar Dean Lung” yang digunakan untuk
studi khusus ajaran Han. Dikatakan bahwa
Columbia University menginginkan memberi gelar ini kepada Zhang Hong Li, Perdana
Menteri pada masa Dinasti Qing, atau Duta Besar Qing, Wu Ting Fang. Namun,
Carpentier mengancam untuk keluar kecuali mereka mengikuti
keinginannya.
Carpentier
bahkan menulis surat kepada Presiden Columbia University untuk berbicara tentang
Dean Lung: “Dean Lung berasal dari keluarga miskin. Dia bukanlah legenda, tetapi
makhluk hidup yang nyata. Saya berkata begitu karena saya cukup beruntung
bertemu seseorang yang berasal dari keluarga sederhana, tetapi memiliki karakter
mulia. Ia dilahirkan menjadi orang yang sangat baik dan tidak pernah menyakiti
siapa pun.” Pada akhirnya, Presiden Columbia University mau mmpertimbangkan
masalah tersebut.
Setelah Dean
Lung meninggal, Carpentier sangat sedih. Ia menyumbangkan uang tersebut
melebihi uang tabungan guru besar sehingga mencapai $AS 500.000. Sejauh ini,
enam orang telah menerima penghargaan ini. Apa yang lebih mengejutkan terdapat
jalan bernama Dean Lung di sebuah kota kecil di New York, di mana Carpentier
tinggal selama tahun-tahun berikutnya. Selama seratus tahun, orang-orang di kota
ini terus mengingat kontribusi seorang pekerja asal Tiongkok kepada Amerika.
(Secret China / mla)
Refleksi:
Kapan terakhir kita bersungguh sungguh melayani dengan tulus tanpa pamrih? memperlakukan orang lain tetap dengan baik walau kita mungkin telah disakiti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar