Rabu, 11 Januari 2012

Apa yang Disebut Mengabdi


Di Fakultas Studi Asia Timur universitas bergengsi, Columbia University, ada sebuah tempat untuk studi khusus budaya Tionghoa dan ajaran Han yang dinamakan “Guru Besar Dean Lung”, yang didirikan dan didanai oleh Horace Walpole Carpentier pada 1901, untuk memperingati Dean Lung, seorang pelayan yang buta huruf asal Tiongkok tapi berhati sangat mulia.

Carpentier (1824-1918), lahir di Kota New York, lulus dari Columbia University dan kemudian menjadi seorang pengacara. Dia menjabat sebagai walikota Oakland pertama, Kalifornia. Pada 1888, ia kembali ke kota kelahirannya, Kota New York, dan terpilih menjadi Dewan Pengawas di Columbia University.

Di Kalifornia, ia mempekerjakan Dean Lung sebagai pelayannya, yang terus mengikutinya hingga kembali ke New York. Karena pekerjaannya terlalu sibuk, sehingga membuat Carpentier cepat naik darah, ia seringkali berkata kasar kepada Dean Lung. Pernah suatu hari dia melempar sesuatu ke arah Dean dan memecatnya karena hal yang sepele.

Beberapa waktu kemudian, rumah Carpentier dilalap api. Dia tidak terluka, tapi menderita kerugian besar. Dean Lung mendengar hal ini lantas datang menemuinya. Dia mengatakan kepada Carpentier bahwa ia akan bekerja dengannya lagi. Carpentier bertanya apa alasannya. Dean Lung menjawab: “Ada seorang bijak bernama Kong Zi, yang mengajarkan orang untuk menjadi pemaaf dan toleran. Dia bahkan berkata: “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang Anda tidak ingin dilakukan untuk diri sendiri.” Sekarang, rumah Anda dibakar oleh api dan Anda hidup sendirian. Saya telah bekerja pada Anda sebelumnya dan merasa kasihan terhadap Anda. Itu sebabnya saya ingin terus melayani Anda.”

Carpentier memuji Dean Lung dan berkata: “Saya tidak tahu bahwa Anda senang membaca dan memahami ajaran-ajaran kuno.” Dean Lung menjawab bahwa dia buta huruf dan apa yang ia ketahui berasal dari penuturan ayahnya.
Carpentier sangat terkejut dan berkata: “Sangat baik bahwa ayah Anda suka mempelajari ajaran-ajaran kuno.”
Dean Lung menjawab: “Ayah saya juga buta huruf dan begitu pula kakek dan kakek buyut. Namun, ajaran Konfusius adalah tradisi keluarga kami dan diturunkan dari generasi ke generasi.”

Carpentier sangat tersentuh setelah mendengarnya dan memperlakukan Dean Lung seperti seorang teman. Sejak itu dia tidak pernah berkata kasar lagi kepada Dean Lung.
Beberapa tahun kemudian, Dean Lung sakit parah. Dia mengatakan kepada Carpentier: “Saya hidup bahagia dan tidak memiliki kekhawatiran. Saya akan segera meninggalkan dunia ini. Seluruh upah yang Anda berikan, saya masukan dalam tabungan. Karena saya tidak mempunyai keluarga maupun teman, saya ingin memberikan uang ini kepada Anda sebagai rasa terima kasih atas kebaikan Anda selama ini.”

Carpentier kemudian memutuskan untuk menyumbangkan uang tersebut, ditambah uangnya sendiri, mendirikan tempat “Guru Besar Dean Lung” yang digunakan untuk studi khusus ajaran Han. Dikatakan bahwa Columbia University menginginkan memberi gelar ini kepada Zhang Hong Li, Perdana Menteri pada masa Dinasti Qing, atau Duta Besar Qing, Wu Ting Fang. Namun, Carpentier mengancam untuk keluar kecuali mereka mengikuti keinginannya.

Carpentier bahkan menulis surat kepada Presiden Columbia University untuk berbicara tentang Dean Lung: “Dean Lung berasal dari keluarga miskin. Dia bukanlah legenda, tetapi makhluk hidup yang nyata. Saya berkata begitu karena saya cukup beruntung bertemu seseorang yang berasal dari keluarga sederhana, tetapi memiliki karakter mulia. Ia dilahirkan menjadi orang yang sangat baik dan tidak pernah menyakiti siapa pun.” Pada akhirnya, Presiden Columbia University mau mmpertimbangkan masalah tersebut.

Setelah Dean Lung meninggal, Carpentier sangat sedih. Ia menyumbangkan uang tersebut melebihi uang tabungan guru besar sehingga mencapai $AS 500.000. Sejauh ini, enam orang telah menerima penghargaan ini. Apa yang lebih mengejutkan terdapat jalan bernama Dean Lung di sebuah kota kecil di New York, di mana Carpentier tinggal selama tahun-tahun berikutnya. Selama seratus tahun, orang-orang di kota ini terus mengingat kontribusi seorang pekerja asal Tiongkok kepada Amerika. (Secret China / mla) 

Refleksi:
Kapan terakhir kita bersungguh sungguh melayani dengan tulus tanpa pamrih? memperlakukan orang lain tetap dengan baik walau kita mungkin telah disakiti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar