Rabu, 25 Januari 2012

Sombong ... Menjatuhkan

Alkisah di sebuah desa terpencil, di mana desa masih banyak penganut aliran kepercayaan.  Di suatu tempat di desa tersebut terdapat sebuah pohon tua, yang harus ditebang karena mengganggu jalan. Ketika mencoba untuk menebang pohon tersebut, ternyata pohon tersebut tidak bisa ditebang & tidak tergores sedikitpun.  Penduduk desapun heboh membicarakan tentang pohon tersebut. 

Setiap orang  penasaran untuk mencoba menebang pohon tersebut.  Berbagai upacara & sesajian dilakukan agar pohon tersebut bisa ditebang, tetapi  ternyata hasilnya nihil.  Akhirnya para penduduk berunding mengenai bagaimana cara untuk menebang pohon tersebut.  Diskusi tersebut akhirnya memunculkan satu nama (merupakan penduduk desa tersebut juga)  yang mungkin bisa menemukan solusi untuk bagaimana cara pohon tersebut dapat ditebang, , yang pekerjaan sehari-harinya adalah bertapa & berkebun.
Sang  pertapa tersebut dengan seksama mendengar cerita penduduk desa, kemudian ia meminta waktu untuk  bersemedi.  Keesokan harinya, pada pagi hari, pertapa tersebut datang ke lokasi dimana pohon tersebut berada. Dengan peralatan yang sama dengan orang-orang lain, pertapa tersebut mencoba menebang  pohon keramat tersebut.  Langkahnya pelan, tapi pasti; ia melangkah seakan ia sudah sangat tahu apa yang akan terjadi.  Para penduduk melihat dengan harap-harap cemas.  Pelan tetapi pasti, dengan peralatan yang sederhana juga, sang pertapa tersebut berhasil  ‘melukai’ sedikit demi sedikit batang pohon tersebut, sampai dengan akhirnya pohon tersebut berhasil ditumbangkan.  Keberhasilan sang pertapa tersebut menjadi buah bibir di desa tersebut.  Puja-puji kepada sang pertapa mengalir dengan derasnya.  Cerita  tentang ‘kesaktian’ nya merebak sampai dengan desa-desa tetangga.
 
Suatu ketika,  desa tetangga juga mengalami hal yang sama, ada pohon yang tidak bisa ditebang.  Nama Sang pertapa tersebut juga menjadi acuan untuk menangani masalah tersebut.  Maka sang pertapapun dipanggil ke desa tersebut untuk menangani masalah tersebut.  Semua merasa yakin bahwa sang pertapa tersebut bisa menebang pohon itu, sama seperti di desa di tempat pertapa tinggal.  Pertapa tersebut mencoba menebang pohon tersebut.  Beberapa kali usahanya tidak menampakkan hasil,  pohon tersebut tidak sedikitpun terluka atas usaha sang pertapa.
 
 Puji-pujian kadang merupakan pedang bermata dua.  Jika kita tidak mengembalikannya kepada Sang Pencipta kita, itu bisa menjadi bumerang bagi kita sendiri.  Sang pertapa sudah termakan oleh puji-pujian keberhasilannya menebang pohon di desanya.  Itu membuat dia tidak sadar bahwa kemampuan tersebut berasal dari Sang Pencipta.
 
Refleksi: 
Apakah kita pernah jatuh karena kesombongan? 

Apakah kita sudah bersyukur kepada Tuhan atas setiap apa yang telah Dia berikan.  Atas setiap keberhasilan yang bisa kita raih, apakah kita merasa bahwa semuanya itu hanya karena kemampuan kita semata?  Apakah pujian-pujian terhadap keberhasilan kita membuat kita merasa diri lebih dan tidak mengembalikannya kepada Tuhan, yang notabene memberikan kemampuan tersebut kepada kita?  Bukan orang lain yang bisa menilai, karena kemungkinan kita bisa memakai  ‘topeng sosial’;  tetapi diri kita sendiri yang bisa menilai tersebut, dengan menelusuri ke dalam hati kita yang paling dalam, membuka topeng-topeng kebusukan kita sendiri di hadapan Tuhan & menyerahkan hati yang remuk redam akibat ketidakmurnian kita kepada Nya.
 
To Live, To Love & To Leave Legacy
Career, Spirit & Life coach
 
ab_jejak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar