Alkisah di sebuah desa terpencil, di mana desa masih banyak
penganut aliran kepercayaan. Di suatu
tempat di desa tersebut terdapat sebuah pohon tua, yang harus ditebang karena
mengganggu jalan. Ketika mencoba untuk menebang pohon tersebut, ternyata pohon
tersebut tidak bisa ditebang & tidak tergores sedikitpun. Penduduk desapun heboh membicarakan tentang
pohon tersebut.
Setiap orang penasaran untuk mencoba menebang pohon
tersebut. Berbagai upacara &
sesajian dilakukan agar pohon tersebut bisa ditebang, tetapi ternyata hasilnya nihil. Akhirnya para penduduk berunding mengenai
bagaimana cara untuk menebang pohon tersebut.
Diskusi tersebut akhirnya memunculkan satu nama (merupakan penduduk desa
tersebut juga) yang mungkin bisa
menemukan solusi untuk bagaimana cara pohon tersebut dapat ditebang, , yang
pekerjaan sehari-harinya adalah bertapa & berkebun.
Sang pertapa tersebut
dengan seksama mendengar cerita penduduk desa, kemudian ia meminta waktu untuk bersemedi.
Keesokan harinya, pada pagi hari, pertapa tersebut datang ke lokasi
dimana pohon tersebut berada. Dengan peralatan yang sama dengan orang-orang
lain, pertapa tersebut mencoba menebang
pohon keramat tersebut.
Langkahnya pelan, tapi pasti; ia melangkah seakan ia sudah sangat tahu
apa yang akan terjadi. Para penduduk
melihat dengan harap-harap cemas. Pelan
tetapi pasti, dengan peralatan yang sederhana juga, sang pertapa tersebut
berhasil ‘melukai’ sedikit demi sedikit
batang pohon tersebut, sampai dengan akhirnya pohon tersebut berhasil
ditumbangkan. Keberhasilan sang pertapa
tersebut menjadi buah bibir di desa tersebut.
Puja-puji kepada sang pertapa mengalir dengan derasnya. Cerita
tentang ‘kesaktian’ nya merebak sampai dengan desa-desa tetangga.
Suatu ketika, desa
tetangga juga mengalami hal yang sama, ada pohon yang tidak bisa ditebang. Nama Sang pertapa tersebut juga menjadi acuan
untuk menangani masalah tersebut. Maka sang
pertapapun dipanggil ke desa tersebut untuk menangani masalah tersebut. Semua merasa yakin bahwa sang pertapa
tersebut bisa menebang pohon itu, sama seperti di desa di tempat pertapa
tinggal. Pertapa tersebut mencoba
menebang pohon tersebut. Beberapa kali
usahanya tidak menampakkan hasil, pohon
tersebut tidak sedikitpun terluka atas usaha sang pertapa.
Puji-pujian kadang
merupakan pedang bermata dua. Jika kita
tidak mengembalikannya kepada Sang Pencipta kita, itu bisa menjadi bumerang bagi
kita sendiri. Sang pertapa sudah
termakan oleh puji-pujian keberhasilannya menebang pohon di desanya. Itu membuat dia tidak sadar bahwa kemampuan
tersebut berasal dari Sang Pencipta.
Refleksi:
Apakah kita pernah jatuh karena kesombongan?
Apakah kita sudah bersyukur kepada Tuhan atas setiap apa
yang telah Dia berikan. Atas setiap
keberhasilan yang bisa kita raih, apakah kita merasa bahwa semuanya itu hanya
karena kemampuan kita semata? Apakah
pujian-pujian terhadap keberhasilan kita membuat kita merasa diri lebih dan
tidak mengembalikannya kepada Tuhan, yang notabene memberikan kemampuan
tersebut kepada kita? Bukan orang lain
yang bisa menilai, karena kemungkinan kita bisa memakai ‘topeng sosial’; tetapi diri kita sendiri yang bisa menilai
tersebut, dengan menelusuri ke dalam hati kita yang paling dalam, membuka
topeng-topeng kebusukan kita sendiri di hadapan Tuhan & menyerahkan hati
yang remuk redam akibat ketidakmurnian kita kepada Nya.
To Live, To Love & To Leave Legacy
Career, Spirit & Life coach
ab_jejak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar