Mengapa
saya menganggap ayah saya sebagai rolemodel
untuk saya? Sedari kecil saya saya telah melihat cara ayah saya bersikap, berperilaku,
dan juga bekerja. Oleh karena itu, saya yakin, bahwa di balik perkataan dan
sikapnya terkadang yang “seenak jidatnya” saja, ayah saya adalah seorang
pekerja keras, ulet, terampil, selalu berusaha memberikan yang terbaik, dan
bijaksana.
Ayah
saya seorang yang perkataannya seenaknya saja? Ya, memang benar seringkali
begitu adanya. Ayah saya adalah seorang dokter yang membuka klinik di daerah
Pejuang. Tentu saja masyarakat yang menjadi pasien di sana belumlah semaju
masyarakat di kota seperti Jakarta. Pola hidup mereka kurang sehat, banyak
sekali gejala hipertensi, diabetes mellitus, dan komplikasi-komplikasi yang
berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Saya teringat salah satu kejadian saat
berada di klinik ayah saya, saat dia memberikan komentar kepada seorang
pasiennya yang sangat berisiko kesehatan jantungnya. Dengan berani ayah saya
berkata, “Bapak, mau gendong cucu ga sih pak?” Hal ini tentu mengejutkan si
pasien dan membuatnya, mungkin antara malu dan marah. Akan tetapi, pasien itu
justru malah menjadi pasien tetap dari ayah saya. Ya, dibalik mulutnya yang nyeleneh itu, dia sangat ulet dan
memikirkan kesehatan pasiennya. Ayah saya tetap terus mempelajari temuan medis
serta obat-obatan jenis baru, bahkan selalu mengetahui bahan utama dari sebuah
obat.
Ayah
saya juga aktif dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia cabang Jakarta Utara
(IDI Jakut) dan Komunitas Medis Keuskupan Agung Jakarta (KMKI-KAJ). Gereja yang
sering kami kunjungi cukup modern, dengan dua buah LCD proyektor besar untuk
menyorot pastor, lirik madah, dan pengumuman-pengumuman yang termasuk panggilan
darurat karena ada umat yang membutuhkan dokter. Karena kejadian yang
berulang-ulang dan ayah saya adalah yang termasuk sering menanggapinya,
tergagaslah suatu komunitas medis baru di Paroki Yakobus, Kelapa Gading.
Tetapi
ini semua, belum menjadi alasan utama ayah saya menjadi teladan saya. Masa
kecil dan masa muda ayah saya, bisa dibilang kurang baik. Ayah saya terlahir
karena kedua orang tuanya kawin lari, tetapi kemudian, karena ibu dari ayah
saya meninggal tidak lama setelah melahirkan, ayah saya menjadi rebutan antara
keluarga ayah dan ibunya karena Ia anak laki-laki. Ia besar berpindah-pindah
keluarga, keluarga paman-paman dan bibi-bibinya, dengan tujuan disembunyikan
dari keluarga ayahnya. Mungkin saya hanya bisa membayangkan, tidak semua orang
bisa sepenuh hati membesarkan anak yang bukan anaknya, kan? Dari cerita-cerita
para paman dan bibi saya, saya mengerti bahwa ayah saya berjuang dari usia yang
masih sangat kecil. Sepeda motor pertamanya bahkan merupakan hasil patungan
keluarganya. Pada masa kuliah, Ia pun telah menjadi salesman, sembari juga menjadi ketua organisasi-organisasi.
Dari
sekian banyak cerita lama yang terungkap dan dari cara para saudara berbicara
kepada ayah saya, saya tahu, walaupun bahkan tanpa standing yang jelas dalam keluarganya dulu, ayah saya kini sangat
dihormati pendapatnya karena keuletannya dan karena prinsipnya. Demikian juga
ibu saya, yang katanya dulu sangat suka dengan keuletan ayah saya.
Memang
tidak ada manusia yang sempurna. Ayah saya tumbuh besar tidak dengan modal dari
orang tua kandungnya. Ia bisa dibilang hidup dari “belas kasih” para saudaranya. Tetapi,
hal-hal yang seakan-akan bermula dari nilai 0 itu kini menjadi sesuatu yang
baik. Keluarga kami berkecukupan, kami bisa mengadakan liburan besar tiap
tahunnya, dan ayah saya sangat diakui rekan sejawatnya.
Ayah
saya mungkin bukan seorang yang bisa bersikap seperti “malaikat”, seperti para orang-orang
yang bisa menjadi teladan di sekitar kita. Tetapi di situlah saya belajar,
bahwa kesempurnaan itu akan datang dengan sendirinya selama kita tetap
berusaha. Ia pintar mengejek orang, tetapi bukan juga tanpa tujuan. Cara
hidupnya praktis, tapi tetap teliti. Itulah sikapnya yang saya anggap sangat
“manusia.”
Terkadang,
muncul sedikit rasa kecewa pada diri saya sendiri, bahwa ayah saya yang dulu
dengan perbekalan yang minim, bisa menjadi dokter seperti sekarang. Saya
memiliki perbekalan yang jelas lebih baik, dibesarkan dalam keluarga yang
kondisinya lebih baik, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan kondisi ketika
ayah saya tumbuh besar. Apa yang mungkin nanti bisa saya capai? Saya memang
masih bisa menikmati usia muda, tetapi pemikiran inilah yang menjadi “pecut”
pendorong saya untuk maju saat ini, walaupun keadaan belum mengharuskan.
Ditulis oleh : Yosuardi
Info Keluarga:
PROGRAM KHUSUS RAMADHAN:
INFAL LEBARAN - Jasa Layanan Caregiver/ Pengasuh
Jasa layanan caregiver Ad Familia Indonesia siap untuk melayani Anda menjelang, selama, dan pasca Lebaran.
Jasa caregiver yang tersedia:
1. Caregiver anak dan anak berkebutuhan khusus
2. Caregiver lansia dan orang sakit
Paket yang tersedia:
1. Paket harian
2. Paket mingguan
3. Paket 2 mingguan
4. Paket 1 bulan
5. Paket 5 bulan
Telepon: 021-44579745/ 44595192/ 29382839
Email: adfamilia.indonesia@gmail.com
http://www.adfamilia-indonesia.com/caregiver-menjelang-selama-dan-pasca-ramadhan.html
Jasa caregiver yang tersedia:
1. Caregiver anak dan anak berkebutuhan khusus
2. Caregiver lansia dan orang sakit
Paket yang tersedia:
1. Paket harian
2. Paket mingguan
3. Paket 2 mingguan
4. Paket 1 bulan
5. Paket 5 bulan
Telepon: 021-44579745/ 44595192/ 29382839
Email: adfamilia.indonesia@gmail.com
http://www.adfamilia-indonesia.com/caregiver-menjelang-selama-dan-pasca-ramadhan.html
Sincerely yours,
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Managing Director
Ad Familia Indonesia : Pusat Layanan Keluarga
Mobile : 0817133238/ PIN BB:29DA17CA
Email : mona_narcis@yahoo.com/ adfamilia.indonesia@gmail.com
www.adfamilia-indonesia.com
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Managing Director
Ad Familia Indonesia : Pusat Layanan Keluarga
Mobile : 0817133238/ PIN BB:29DA17CA
Email : mona_narcis@yahoo.com/ adfamilia.indonesia@gmail.com
www.adfamilia-indonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar