Sabtu, 27 Juli 2013

Ayahku yang Ulet ...




Dalam tulisan ini, saya ingin menceritakan tentang orang yang sampai sekarang ini telah menjadi teladan dalam kehidupan saya. Orang yang saya maksud tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah ayah saya sendiri.
 
Mengapa saya menganggap ayah saya sebagai rolemodel untuk saya? Sedari kecil saya saya telah melihat cara ayah saya bersikap, berperilaku, dan juga bekerja. Oleh karena itu, saya yakin, bahwa di balik perkataan dan sikapnya terkadang yang “seenak jidatnya” saja, ayah saya adalah seorang pekerja keras, ulet, terampil, selalu berusaha memberikan yang terbaik, dan bijaksana.

Ayah saya seorang yang perkataannya seenaknya saja? Ya, memang benar seringkali begitu adanya. Ayah saya adalah seorang dokter yang membuka klinik di daerah Pejuang. Tentu saja masyarakat yang menjadi pasien di sana belumlah semaju masyarakat di kota seperti Jakarta. Pola hidup mereka kurang sehat, banyak sekali gejala hipertensi, diabetes mellitus, dan komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.

 Saya teringat salah satu kejadian saat berada di klinik ayah saya, saat dia memberikan komentar kepada seorang pasiennya yang sangat berisiko kesehatan jantungnya. Dengan berani ayah saya berkata, “Bapak, mau gendong cucu ga sih pak?” Hal ini tentu mengejutkan si pasien dan membuatnya, mungkin antara malu dan marah. Akan tetapi, pasien itu justru malah menjadi pasien tetap dari ayah saya. Ya, dibalik mulutnya yang nyeleneh itu, dia sangat ulet dan memikirkan kesehatan pasiennya. Ayah saya tetap terus mempelajari temuan medis serta obat-obatan jenis baru, bahkan selalu mengetahui bahan utama dari sebuah obat.

Ayah saya juga aktif dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia cabang Jakarta Utara (IDI Jakut) dan Komunitas Medis Keuskupan Agung Jakarta (KMKI-KAJ). Gereja yang sering kami kunjungi cukup modern, dengan dua buah LCD proyektor besar untuk menyorot pastor, lirik madah, dan pengumuman-pengumuman yang termasuk panggilan darurat karena ada umat yang membutuhkan dokter. Karena kejadian yang berulang-ulang dan ayah saya adalah yang termasuk sering menanggapinya, tergagaslah suatu komunitas medis baru di Paroki Yakobus, Kelapa Gading.

Tetapi ini semua, belum menjadi alasan utama ayah saya menjadi teladan saya. Masa kecil dan masa muda ayah saya, bisa dibilang kurang baik. Ayah saya terlahir karena kedua orang tuanya kawin lari, tetapi kemudian, karena ibu dari ayah saya meninggal tidak lama setelah melahirkan, ayah saya menjadi rebutan antara keluarga ayah dan ibunya karena Ia anak laki-laki. Ia besar berpindah-pindah keluarga, keluarga paman-paman dan bibi-bibinya, dengan tujuan disembunyikan dari keluarga ayahnya. Mungkin saya hanya bisa membayangkan, tidak semua orang bisa sepenuh hati membesarkan anak yang bukan anaknya, kan? Dari cerita-cerita para paman dan bibi saya, saya mengerti bahwa ayah saya berjuang dari usia yang masih sangat kecil. Sepeda motor pertamanya bahkan merupakan hasil patungan keluarganya. Pada masa kuliah, Ia pun telah menjadi salesman, sembari juga menjadi ketua organisasi-organisasi.

Dari sekian banyak cerita lama yang terungkap dan dari cara para saudara berbicara kepada ayah saya, saya tahu, walaupun bahkan tanpa standing yang jelas dalam keluarganya dulu, ayah saya kini sangat dihormati pendapatnya karena keuletannya dan karena prinsipnya. Demikian juga ibu saya, yang katanya dulu sangat suka dengan keuletan ayah saya.

Memang tidak ada manusia yang sempurna. Ayah saya tumbuh besar tidak dengan modal dari orang tua kandungnya. Ia bisa dibilang hidup dari  “belas kasih” para saudaranya. Tetapi, hal-hal yang seakan-akan bermula dari nilai 0 itu kini menjadi sesuatu yang baik. Keluarga kami berkecukupan, kami bisa mengadakan liburan besar tiap tahunnya, dan ayah saya sangat diakui rekan sejawatnya.

Ayah saya mungkin bukan seorang yang bisa bersikap seperti “malaikat”, seperti para orang-orang yang bisa menjadi teladan di sekitar kita. Tetapi di situlah saya belajar, bahwa kesempurnaan itu akan datang dengan sendirinya selama kita tetap berusaha. Ia pintar mengejek orang, tetapi bukan juga tanpa tujuan. Cara hidupnya praktis, tapi tetap teliti. Itulah sikapnya yang saya anggap sangat “manusia.”

Terkadang, muncul sedikit rasa kecewa pada diri saya sendiri, bahwa ayah saya yang dulu dengan perbekalan yang minim, bisa menjadi dokter seperti sekarang. Saya memiliki perbekalan yang jelas lebih baik, dibesarkan dalam keluarga yang kondisinya lebih baik, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan kondisi ketika ayah saya tumbuh besar. Apa yang mungkin nanti bisa saya capai? Saya memang masih bisa menikmati usia muda, tetapi pemikiran inilah yang menjadi “pecut” pendorong saya untuk maju saat ini, walaupun keadaan belum mengharuskan.

Ditulis oleh : Yosuardi


Info Keluarga:

PROGRAM KHUSUS RAMADHAN:
INFAL LEBARAN - Jasa Layanan Caregiver/ Pengasuh

Picture
Jasa layanan caregiver Ad Familia Indonesia siap untuk melayani Anda menjelang, selama, dan pasca Lebaran. 
Jasa caregiver yang tersedia:
1. Caregiver anak dan anak berkebutuhan khusus
2. Caregiver lansia dan orang sakit
Paket yang tersedia:
1. Paket harian
2. Paket mingguan
3. Paket 2 mingguan
4. Paket 1 bulan
5. Paket 5 bulan
Telepon: 021-44579745/ 44595192/ 29382839
Email: adfamilia.indonesia@gmail.com
http://www.adfamilia-indonesia.com/caregiver-menjelang-selama-dan-pasca-ramadhan.html
 
Sincerely yours,
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Managing Director
Ad Familia Indonesia : Pusat Layanan Keluarga
Mobile : 0817133238/ PIN BB:29DA17CA
Email : mona_narcis@yahoo.com/ adfamilia.indonesia@gmail.com
www.adfamilia-indonesia.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar