Selasa, 03 Desember 2013

Ketika Bencana Dijadikan Guyonan...

Tentu kita masih ingat tentang kejadian 11 maret 2011, Gempa Bumi Dasyat berkekuatan 9 SR dan Tsunami yang melanda Jepang mengakibatkan puluhan ribu korban jiwa yang melayang.

Disusul dengan meledaknya PLTN di Fukushima yang menyebabkan radiasi nuklir menyebar luas di Jepang.
Sehingga bisa dikatakan pada saat itu Jepang lumpuh dan tak berdaya.


Terjadinya gempa hebat yang berpusat di laut, mengakibatkan tsunami yang memporakporandakan daerah Sendai, Iwate dan Fukushima. Hantaman tsunami yang mencapai ketinggian 10 meter ini mengakibatkan kerusakan di daerah pembangkit listrik bertenaga nuklir yang ada di Fukushima Prefecture.

Ledakan PLTN ini membuat beberapa daerah disekitar pembangkit itu menjadi kota mati karena semua penduduk di evakuasi ketempat yang lebih aman.

Walaupun wilayah kami tidak terkena tsunami, namun masih terbayang goyangan gempa berskala 9 R yang membuat isi rumah saya berantakan, foto-foto di dinding berjatuhan, laci-laci lemari dan buffet menjulur keluar, air dalam toilet tumpah ruah membasahi lantai, lampu gantung yang goyang ke kanan ke kiri, listrik dan gas yang padam, mengharuskan kami semua yang berada di gedung berlantai 16 ini tergopoh gopoh panik untuk turun melalui tangga darurat menuju lantai dasar.

Kejadian yang tidak pernah akan saya lupakan dan membuat saya untuk lebih menghargai kehidupan.
Gempa susulan yang kerap datang membuat kami terus waspada, bertubi tubi bencana yang datang dari Gempa yang menggoyang Jepang sampai, Tsunami yang menghanyutkan puluhan ribu orang, lalu meledaknya  PLTN di Fukushima membuat Jepang dalam keadaan yang sangat gawat dan genting, dengn selalu siaga penuh terhadap penyebaran radiasi yang akan ditimbulkan.

Ketika itu, kami semua warga dianjurkan untuk selalu memakai masker, tidak bebasnya anak-anak bermain keluar, karena polusi udara yang telah terkontaminasi zat radioktif, membuat kami pun merasa tertekan dan bingung, sampai kapan masalah ini akan selesai. Masih teringat kuat dalam kepala, betapa mencekam keadaan Jepang saat itu.

Banyak teman teman Indonesia yang tinggal di Jepang, berkeluh kesah dan curhat tentang keadaan disini melalui media-media sosial. Dan sepertinya komentar dari sebagian teman-temannya pun memberikan respon dukungan positif dengan mengatakan ‘Pray for Japan!’ Indahnya kata itu masih membekas hingga kini.

Walau saya bukan orang Jepang, tapi kok ya seperti saya turut didoakan oleh mereka. Dan saya yakin kalau saja ada orang Jepang yang lihat dan mengerti tulisan itu, pasti akan  berterima kasih atas simpatinya.
Namun sayangnya, selain kata-kata penyemangat dan dukungan dari kawan kawan, ada juga komentar menyakitkan (menurut saya) yang membawa bawa agama dan keyakinan dalam menyikapi musibah yang terjadi disini.

Apakah itu suatu guyonan, sindiran, ucapan asal keluar dari mulut saja, tentu hanya pemberi komentarlah yang tahu. Komentar yang tertulis, intinya kalau musibah dan bencana di Jepang ini adalah balasan dan azab atas bangsa yang tidak mempunyai agama.

Seperti tertusuk saya membaca komentar seperti itu. Memang,  memberikan opini adalah hak asasi setiap orang untuk mengemukakan pendapat. Tapi apakah tidak bisa kita sedikit bersimpati atas musibah ini, cobalah berempati sedikit dengan menempatkan dirinya sendiri seolah olah kita adalah korban dalam bencana itu.

Terlepas dari alasan tentang negara itu apakah negara yang tidak punya agama atau keyakinan, terlepas dari masyarakat itu termasuk orang orang yang tidak bermoral dan beradab, tidak bisakah kita berikan sedikit perasaan  simpati dengan mengeluarkan perkataan dari hati nurani manusia biasa, manusia yang lemah dan tak berdaya, yang mungkin saja besok atau lusa, musibah itu bisa juga berganti menimpa kita dan keluarga kita.

Akan kah kita akan senang apabila ada orang yang semakin sengit menjudge atau bahkan menjadikan sebagai dagelan humor bahwa musibah yang datang ini adalah azab di dunia yang harus mereka dapatkan.  Cobalah untuk lebih sensitif dan senggol lah hati dan nurani kita yang paling dalam.

Beberapa bulan yang lalu, Jepang sangat murka terhadap perkataan presenter TV Prancis yang mengomentari tentang gambar Kiper Tim Nasional Jepang, Kawashima yang telah tersebar luas di dunia maya yang tergambar mempunyai tangan empat.

Walaupun komentar itu adalah pujian tentang kehebatan sang kiper Jepang karena  keahliannya menjaga gawang bagaikan sang kiper mempunyai tangan lebih dari dua, namun ternyata gambar itu juga mengandung makna lain dengan  membawa bawa tentang masalah polusi radioaktif yang sedang melanda Jepang.

Guyonan ini tentu saja menyindir, mengenai dampak radiasi nuklir yang memang sangat berbahaya karena bisa menyebabkan perubahan-perubahan  dalam tubuh kita akibat dari hirupan udara dan makanan yang tercemar radiasi.

Dan sangat disayangkan gurauan itu terlontar dari seorang pembawa acara TV di Perancis.
Bisa dibayangkan pemirsa yang berfikir kalau memang itu humor lucu, akan terbawa suasana dengan tertawa terbahak bahak, sedangkan sebaliknya, keadaan di daerah musibah itu, sedang mengalami duka yang amat dalam,  adanya kekhawatiran akan dampak radiasi yang menyebar luas ini.

Menurut saya wajar saja, kalau kejadian ini mengakibatkan reaksi keras dari pemerintah Jepang, seperti yang dikutip dari pernyataan Menteri Pendidikan Jepang, Makiko Tanaka yang mengatakan bahwa kejadian ini membuat masyarakat Jepang tersakiti dan tidak menyangka kalau hal sensitif ini dijadikan bahan candaan.

Reaksi pemerintah Jepang ini bukan kali pertama terhadap negara Perancis, yang sebelumnya juga memuat sejumlah kartun di koran Perancis, Le Chanard Enchaine, yang menggambarkan pegulat sumo bertubuh ringkih yang bersiap untuk bertarung di depan pabrik nuklir yang rusak.

1386126344854485116

Dan gambar kartun lain, dimana dua orang berdiri di depan kolam yang menggunakan baju khusus anti nuklir sambil memegang alat pendeteksi radiasi.

Guyonan yang terlihat pada coretan karikatur di koran tersebut jelas sekali menyindir keadaan Jepang, khususnya Fukushima.  Apalagi adanya kesangsian dari tulisan tersebut mengenai pelaksanaan Olimpiade 2020 nanti, dimana Jepang terpilih sebagai tuan rumahnya.

Lagi-lagi guyonan (tidak lucu) yang terdengar sampai kepada masyarakat Jepang, menguak luka yang dalam, sehingga membuat Menteri Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga pun mengajukan protes terhadap surat kabar tersebut, karena memberikan kesan yang salah terhadap keadaan Jepang saat ini.

Dari kejadian-kejadian tersebut, membuat saya pribadi untuk bercermin, hendaklah berhati-hati dalam berbicara dan bertindak.

Seperti kata pepatah yang mengatakan bahwa Mulut mu adalah Harimau mu, karena perkataan bisa lebih menyakitkan dari sebilah pisau.

Dan wejangan dari ibu saya, bahwa “Santunlah dalam berkata kata karena perkataan yang keluar dari mulut adalah sebuah doa”.

Ucaplah kata yang santun dan tidak menyakiti serta menyinggung hati orang lain , itu adalah batasan dari hak kita untuk mengemukakan pendapat.

**Renungan kemarin malam, ketika saya membeli sayuran dan di kemasannya tertulis hasil tani dari Ibaraki Prefecture, dimana ketika masalah radiasi terjadi, kota Ibaraki adalah salah satu kota yang terkena radiasi untuk sektor pertaniannya.

Salam Hangat, weedy
Image: malay.cri.cn  daily mail.co.uk

Link : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/04/ketika-bencana-dijadikan-guyonan-616435.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar