INSPIRASIKU
Namanya
Widodo Teguh Rahardjo, panggil saja Dodi. Dodi adalah anak pertama dari lima
bersaudara, selayaknya seorang kakak ia selalu menjaga adik-adiknya. Ia
memiliki 2 orang adik laki-laki dan dua adik perempuan. Dodi lahir di kota
Bojonegoro, Jawa Timur. Dodi tidak berasal dari keluarga yang berkecukupan,
mamanya memang adalah anak seorang Kepala Kepolisian di Surabaya, namun mamanya
sudah tidak dianggap anak lagi karena menikah dengan bapak dari Dodi. Soekarno
adalah nama dari bapaknya Dodi, dan pekerjaannya adalah seorang kernet bus. Dengan
kondisi ekonomi yang selalu kekurangan, Dodi dan keluarganya berjuang mandiri
tanpa dapat mengharapkan bantuan dari sanak saudara lainnya.
Untuk
makan saja susah, apalagi untuk membiayai sekolah kelima anak. Untuk itu Dodi
dan saudara-saudaranya selalu memutar otak saat menyiapkan makanan, satu telur
yang dimiliki dimasak selebar mungkin agar bisa dimakan untuk berlima, susu
yang sangat mahal diganti dengan air tajen. Dodi dan keempat saudaranya selalu
bersekolah di sekolah negri karena biayanya yang murah.
Namun pada kenaikkan
dari SD ke SMP Dodi tidak mendapatkan sekolah negri. Dodi memang tidak terlalu
pintar bila dibandingkan dengan adik-adiknya. Dodi sempat berpikir kalau
dirinya akan berhenti sekolah karena orangtuanya tidak mungkin memiliki cukup
uang untuk membayar sekolah swasta.
Pada saat Dodi berjalan-jalan disekitar
sekolah swasta Ia bertemu dengan seorang Romo asal Belanda yang bertanya
kepadanya “kenapa kamu disini? Kamu tidak sekolah?” Dodi menjawab “tidak punya
uang” lalu Romo menjawab “ya sudah, kamu sekolah saja disini, nanti saya yang
bantu” tanpa berpikir panjang Dodi langsung meng’iyakan Romo yang baru saja Ia
kenal. Dodi adalah pemeluk agama Islam, awalnya ia sangat canggung bersekolah di
SMP Katolik, namun seberjalannya waktu ia mulai paham dan mengikuti dengan baik. Setiap bulan ia selalu menemui Romo di
Kapel kecil dekat sekolahnya untuk meminta tanda tangan surat keterangan tidak
mampu membayar uang sekolah.
Dodi
mulai merasa nyaman dengan agama Katolik, ia pun memberanikan diri untuk
berbicara kepada orangtuanya untuk berpindah keyakinan, orang tuanya pun
menjawab “iya terserah kamu saja, tapi kamu harus ingat tetap menjaga adik-adik
kamu” Akhirnya Dodi menjalani pembabtisan dan setiap pagi sebelum ke sekolah ia
selalu menyempatkan diri ke Kapel untuk menjadi Putra Altar membantu Romo
menjalankan Misa pagi.
Hingga lulus SMA hidup Dodi selalu dibantu oleh Romo.
Sampai saat pada ia ingin meninggalkan Bojonegoro dan pergi mencari hidup yang
lebih baik di Jakarta, Dodi tidak lupa untuk meminta berkat dari Romo yang
selalu membantunya hingga ia dapat menyelesaikan sekolahnya. Dodi ke Jakarta
bersama dua orang temannya yang bernama Toro dan Sugeng. Mereka menggunakan
kereta dengan tarif yang paling murah, yang sekarang suka disebut dengan nama
kereta “sapi”, begitu ramainya teman-teman lainnya yang mengantarkan ke
stasiun, berharap mereka dapat sukses nantinya di Jakarta.
Sampai
di Jakarta Dodi berpisah dengan 2 orang temannya itu, Dodi menumpang dikeluarga
jauh dari mamanya, ia sadar kalau dirinya hanyalah seorang saudara jauh yang
miskin tidak punya uang untuk membayar makan disana, jadi Dodi sambil
membantu-bantu di bengkel milik Pakdenya tersebut.
Target pertama Dodi adalah
menjadi seorang tentara, saat di Bojonegoro Dodi mendapatkan penghargaan
sebagai atlet terbaik se’Bojonegoro, namun karena ia tinggal di rumah Pakdenya
di Jakarta berat badannya langsung turun jauh karena Dodi malu jika makan
banyak dirumah saudaranya tersebut, sehingga saat test berat badan Dodi
dinyatakan gagal. Disaat itu Dodi merasa benar-benar gagal, namun pakdenya
terus menyemangati Dodi dan menyarankan Dodi mencoba beasiswa yang saat itu
diadakan oleh Habibie. Namun sayangnya Dodi hanya masuk hingga tahap 20besar
dari ribuan pendaftar lainnya. Disaat itu Dodi sempat berpikir untuk menjadi
preman saja, menurutnya “bila di Jakarta gagal menjadi orang baik, lebih baik
sekalian saja menjadi orang jahat”
Pada
suatu hari Pakdenya memberikan informasi tentang perusahaan koran Kompas yang
sedang membuka lowongan pekerjaan, akhirnya Dodi memasukkan lamarannya dan
berharap diterima. Lamaran pertama yang dimasukkan tidak diberikan respon
apapun, tidak menyerah Dodipun memasukkan untuk kedua kali dan ketiga kali.
Pada lamaran ketiga barulah Dodi dipanggil dan lolos tes seleksi.
Betapa
bahagianya perasaan Dodi walaupun hanya menjadi bagian pelipat koran. Dodi yang
gigih membuat atasannya menawarkan kursus dan sekolah-sekolah lainnya agar
dapat mempromisikannya dibagian yang lebih baik lagi. Setelah 3bulan bekerja
Dodi diangkat menjadi karyawan tetap, dan memutuskan untuk nge’kost agar tidak
terus merepotkan keluarga Pakdenya. Di daerah Kemerdekaan Barat Dodi
mendapatkan tempat kost baru, tidak hanya tempat kost yang didapat namun
pasangan hiduppun Ia temukan disitu. Pratiwi adalah tetangga rumah kost Dodi.
Setelah dua tahun pacaran akhirnya Pratiwi dan Dodi memutuskan untuk menikah.
Sebelum menikah Pratiwi belajar agama terlebih dahulu di gereja St. Theresia
Jakarta, hal ini dikarenakan Pratiwi adalah seorang muslim. Tidak mudah untuk
Dodi dan Pratiwi mendapatkan restu dari kedua orang tua Pratiwi, dan akhirnya
mereka menggunakan uang tabungan sendiri untuk membuat acara pernihakan tanpa
bantuan kedua belah orang tua.
Dodi
yakin perjuangan yang sudah Ia lakukan tidak akan sia-sia. Memang awalnya
seluruh keluarga Pratiwi menjauhi keluarga kecilnya itu, namunnya sejalannya
waktu keadaan akan lebih terasa normal. Sekarang Dodi sudah menjadi Kepala
bagian ikaln di Kompas Gramedia dan memiliki dua orang anak. Saya Gabriella
Ratna adalah anak pertamanya, dan saya sangat bangga dengan Bapak saya.
ditulis oleh Gabriella Ratna Widiastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar