Senin, 14 April 2014

Perjalanan Ayahku Yang Tegar



INSPIRASIKU

Namanya Widodo Teguh Rahardjo, panggil saja Dodi. Dodi adalah anak pertama dari lima bersaudara, selayaknya seorang kakak ia selalu menjaga adik-adiknya. Ia memiliki 2 orang adik laki-laki dan dua adik perempuan. Dodi lahir di kota Bojonegoro, Jawa Timur. Dodi tidak berasal dari keluarga yang berkecukupan, mamanya memang adalah anak seorang Kepala Kepolisian di Surabaya, namun mamanya sudah tidak dianggap anak lagi karena menikah dengan bapak dari Dodi. Soekarno adalah nama dari bapaknya Dodi, dan pekerjaannya adalah seorang kernet bus. Dengan kondisi ekonomi yang selalu kekurangan, Dodi dan keluarganya berjuang mandiri tanpa dapat mengharapkan bantuan dari sanak saudara lainnya.


Untuk makan saja susah, apalagi untuk membiayai sekolah kelima anak. Untuk itu Dodi dan saudara-saudaranya selalu memutar otak saat menyiapkan makanan, satu telur yang dimiliki dimasak selebar mungkin agar bisa dimakan untuk berlima, susu yang sangat mahal diganti dengan air tajen. Dodi dan keempat saudaranya selalu bersekolah di sekolah negri karena biayanya yang murah. 

Namun pada kenaikkan dari SD ke SMP Dodi tidak mendapatkan sekolah negri. Dodi memang tidak terlalu pintar bila dibandingkan dengan adik-adiknya. Dodi sempat berpikir kalau dirinya akan berhenti sekolah karena orangtuanya tidak mungkin memiliki cukup uang untuk membayar sekolah swasta. 

Pada saat Dodi berjalan-jalan disekitar sekolah swasta Ia bertemu dengan seorang Romo asal Belanda yang bertanya kepadanya “kenapa kamu disini? Kamu tidak sekolah?” Dodi menjawab “tidak punya uang” lalu Romo menjawab “ya sudah, kamu sekolah saja disini, nanti saya yang bantu” tanpa berpikir panjang Dodi langsung meng’iyakan Romo yang baru saja Ia kenal. Dodi adalah pemeluk agama Islam, awalnya ia sangat canggung bersekolah di SMP Katolik, namun seberjalannya waktu ia mulai paham dan mengikuti dengan  baik. Setiap bulan ia selalu menemui Romo di Kapel kecil dekat sekolahnya untuk meminta tanda tangan surat keterangan tidak mampu membayar uang sekolah.

Dodi mulai merasa nyaman dengan agama Katolik, ia pun memberanikan diri untuk berbicara kepada orangtuanya untuk berpindah keyakinan, orang tuanya pun menjawab “iya terserah kamu saja, tapi kamu harus ingat tetap menjaga adik-adik kamu” Akhirnya Dodi menjalani pembabtisan dan setiap pagi sebelum ke sekolah ia selalu menyempatkan diri ke Kapel untuk menjadi Putra Altar membantu Romo menjalankan Misa pagi. 

Hingga lulus SMA hidup Dodi selalu dibantu oleh Romo. Sampai saat pada ia ingin meninggalkan Bojonegoro dan pergi mencari hidup yang lebih baik di Jakarta, Dodi tidak lupa untuk meminta berkat dari Romo yang selalu membantunya hingga ia dapat menyelesaikan sekolahnya. Dodi ke Jakarta bersama dua orang temannya yang bernama Toro dan Sugeng. Mereka menggunakan kereta dengan tarif yang paling murah, yang sekarang suka disebut dengan nama kereta “sapi”, begitu ramainya teman-teman lainnya yang mengantarkan ke stasiun, berharap mereka dapat sukses nantinya di Jakarta.

Sampai di Jakarta Dodi berpisah dengan 2 orang temannya itu, Dodi menumpang dikeluarga jauh dari mamanya, ia sadar kalau dirinya hanyalah seorang saudara jauh yang miskin tidak punya uang untuk membayar makan disana, jadi Dodi sambil membantu-bantu di bengkel milik Pakdenya tersebut. 

Target pertama Dodi adalah menjadi seorang tentara, saat di Bojonegoro Dodi mendapatkan penghargaan sebagai atlet terbaik se’Bojonegoro, namun karena ia tinggal di rumah Pakdenya di Jakarta berat badannya langsung turun jauh karena Dodi malu jika makan banyak dirumah saudaranya tersebut, sehingga saat test berat badan Dodi dinyatakan gagal. Disaat itu Dodi merasa benar-benar gagal, namun pakdenya terus menyemangati Dodi dan menyarankan Dodi mencoba beasiswa yang saat itu diadakan oleh Habibie. Namun sayangnya Dodi hanya masuk hingga tahap 20besar dari ribuan pendaftar lainnya. Disaat itu Dodi sempat berpikir untuk menjadi preman saja, menurutnya “bila di Jakarta gagal menjadi orang baik, lebih baik sekalian saja menjadi orang jahat”

Pada suatu hari Pakdenya memberikan informasi tentang perusahaan koran Kompas yang sedang membuka lowongan pekerjaan, akhirnya Dodi memasukkan lamarannya dan berharap diterima. Lamaran pertama yang dimasukkan tidak diberikan respon apapun, tidak menyerah Dodipun memasukkan untuk kedua kali dan ketiga kali. Pada lamaran ketiga barulah Dodi dipanggil dan lolos tes seleksi.

Betapa bahagianya perasaan Dodi walaupun hanya menjadi bagian pelipat koran. Dodi yang gigih membuat atasannya menawarkan kursus dan sekolah-sekolah lainnya agar dapat mempromisikannya dibagian yang lebih baik lagi. Setelah 3bulan bekerja Dodi diangkat menjadi karyawan tetap, dan memutuskan untuk nge’kost agar tidak terus merepotkan keluarga Pakdenya. Di daerah Kemerdekaan Barat Dodi mendapatkan tempat kost baru, tidak hanya tempat kost yang didapat namun pasangan hiduppun Ia temukan disitu. Pratiwi adalah tetangga rumah kost Dodi. Setelah dua tahun pacaran akhirnya Pratiwi dan Dodi memutuskan untuk menikah. Sebelum menikah Pratiwi belajar agama terlebih dahulu di gereja St. Theresia Jakarta, hal ini dikarenakan Pratiwi adalah seorang muslim. Tidak mudah untuk Dodi dan Pratiwi mendapatkan restu dari kedua orang tua Pratiwi, dan akhirnya mereka menggunakan uang tabungan sendiri untuk membuat acara pernihakan tanpa bantuan kedua belah orang tua. 

Dodi yakin perjuangan yang sudah Ia lakukan tidak akan sia-sia. Memang awalnya seluruh keluarga Pratiwi menjauhi keluarga kecilnya itu, namunnya sejalannya waktu keadaan akan lebih terasa normal. Sekarang Dodi sudah menjadi Kepala bagian ikaln di Kompas Gramedia dan memiliki dua orang anak. Saya Gabriella Ratna adalah anak pertamanya, dan saya sangat bangga dengan Bapak saya.

ditulis oleh Gabriella Ratna Widiastuti


Tidak ada komentar:

Posting Komentar