Namaku Xiao-wei, siswa kelas 7, di
besarkan di wilayah selatan kota. Seiring dengan bergulirnya waktu,
sekarang sudah menginjak usia 20 tahun lebih. Saat berusia 19 – 20
tahun, aku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Taipei, Taiwan. Kala
itu menjalin hubungan asmara dengan seorang teman pria yang usianya
lebih tua 6 tahun dariku, aku yang masih polos kala itu, tidak tahu
apa-apa, selalu melakukan apa saja yang dikatakan olehnya.
Karena
merasa sangat asing tinggal di luar kampung halaman, jadi banyak hal
dalam kehidupan sehari-hari selalu dikerjakan pacarku, sehingga
membuatku cukup fokus pada kuliah saja. Tidak perlu repot-repot lagi
memikirkan hal-hal sepele yang memusingkan, dan memang hal itu
membantuku mengurangi tekanan yang cukup banyak dalam keseharianku.
Dia
bagaikan bagian dalam hidupku, perlahan namun pasti aku pun mulai
menyukainya, dan kian bergantung kepadamya, selalu merasa banyak
berhutang (budi) padanya, dan sungguh aku tidak tahu bagaimana baiknya
membalas kebaikannya itu.
Hari itu
saat pergi bersamanya, malamnya aku mampir ke rumahnya melihat sesuatu,
kala itu waktu sudah cukup larut malam, aku memintanya untuk mengantarku
pulang, tapi dia bilang untuk menginap saja di rumahnya. Aku merenung
sejenak dan merasa dia juga mungkin sudah cukup lelah seharian
mengendarai motor, lagipula saat itu sudah larut malam, tidak enak juga
kalau memintanya lagi untuk mengantarku pulang. Akhirnya aku putuskan
untuk menginap, besok baru pulang, dan tanpa pikir panjang lagi, ku
langsung ingin tidur lebih dulu.
Ketika
tidur di malam itu, tiba-tiba dia menjadi mesra kepadaku, meskipun aku
juga menyukainya, namun dalam hatiku terus merenung, ku ingin
mempertahankan malam pertamaku sampai tiba saatnya di malam pernikahan
itu. Aku tidak ingin berhubungan seks pranikah, karena ini tidak benar
dan menyimpang.
Apa yang pernah
diwanti-wanti mama dahulu, sekarang menari-nari dalam pikiranku,
bagaimana jika hamil ? aku kan masih mau kuliah! Jika aborsi, aku takut
bayangan bayi menghantuiku, dan jika benar-benar hamil nantinya, maka
terpaksa harus absen dulu dari kuliah, namun, sangat memalukan kalau
harus pulang kampung dulu, dan dipastikan orang tua juga akan merasa
sangat malu dengan tetangga kiri kanan, lagipula kampus di perguruan
tinggi kota Taipei ini sangat terkenal, bagaimana jika hal itu tersebar,
apa yang harus kulakukan ?!
Kala itu
aku menahan perilakunya, aku bilang kepadanya tidak boleh melakukan hal
itu, dan perlahan-lahan akhirnya dia menenangkan dirinya. Namun meski
sudah begitu larut tapi belum juga bisa memejamkan mata, karena ia
selalu mengulangi perilaku seperti itu, dalam hatiku berkata, "Oh
mentari pagi cepatlah engkau datang!malam ini kenapa begitu lama waktu
bergulir!"
Setelah itu, aku terus
berbicara dengannya, aku menyampaikan pandanganku, dan dia mengatakan
kelak tidak akan terjadi lagi, mendengar itu aku pun menenangkan diri,
tidak lagi memikirkan masalah itu, dia tetap seperti biasa selalu baik
kepadaku, dia merawat dan mengurusku tanpa kekurangan apapun.
Namun,
masalah itu tidak berjalan seindah sebagaimana yang diharapkan,
selanjutnya, dia mengulangi lagi untuk ke dua kalinya, ke tiga
kalinya....... Aku mulai takut untuk berkunjung lagi ke rumahnya, aku
benar-benar dibuat takut olehnya! mungkin dia juga tahu, lalu
perlahan-lahan dia menyesuaikan psikologisnya terhadapku.
Hari-hari
berikutnya aku merenung, selama kuliahku di luar kota, dia benar-benar
baik terhadapku, kerap membuat hatiku tersentuh, merawat dan
menyayangiku bagaikan saudara sendiri, dan mungkin aku tidak dapat
membalasnya, pernah terlintas dalam benakku untuk memberinya uang, tapi
ditolaknya. Belakangan aku merenung, hanya dengan memberi malam
pertamaku itu untuknya boleh dikata sudah termasuk membalas kebaikannya
selama bersamaku!
Lalu ......hal itu
terjadi begitu saja. Namun, konsep moralitas terus berkecamuk dalam
benakku dan mengecamku, "Bagaimana boleh kamu berbuat seperti itu ? kamu
sangat kotor dan menjijikkan....."
Aku
benar-benar merasa diriku ini sangat kotor saat mandi beberapa hari
itu, selalu ingin membersihkannya, terus menerus dan berulang kali
membersihkannya dari ujung kaki sampai ujung kepala, namun, dari lubuk
hatiku, aku tahu sudah tidak bisa lagi membersihkannya.
Sesama
siswi di kampus menganggap hal seperti itu sebagai sesuatu yang
membanggakan dan berbicara keras, "Berapa kali kamu melakukannya
semalam, terus, gimana...gimana....?"
Aku
merasa mereka sangat hina dan aku merasa sangat malu karena ulah
mereka. Ketika teman sekampus menanyakan tentang pacarku, aku selalu
bergegas pergi dan menjauhinya. Aku tidak ingin hal itu selalu
disinggung mereka, jika aku benar-benar bersih, aku tidak akan takut dan
salah tingkah terhadap teman-teman sekampus, namun, pada kenyataannya
aku sudah ternoda!
Setiap bulan aku
selalu cemas dengan periode menstruasiku, aku benar-benar gelisah,
meskipun telat barang 1 – 2 hari juga terasa sangat menyiksaku. Aku
tahu, jika aku selalu dan terus menyadari akan hal itu, aku pasti akan
sangat tersiksa, karena itu, akhirnya aku memilih lumpuh atau mati rasa
saja, tidak berani menghadapi kenyataan, aku berikan jika dia
menginginkannya, meskipun kesadaran kembali mengecamku lagi, aku juga
sudah tak peduli lagi, hingga akhirnya perlahan-lahan aku pun melayang
mengikutinya!
Dalam proses pergaulan,
mama selalu mengingatkan dan mewanti-wanti setiap hari melalui telepon,
untuk selalu hati-hati, agar jangan serampangan bersentuhan dengan
lelaki, tidak boleh menginap di rumah orang lain, tidak boleh
sembarangan mengambil sesuatu milik orang lain, tidak boleh.......dst.
Aku
paham betul bagaimana menjawab pesan-pesan dari mama, "Ya ma, aku tidak
akan seperti itu." Atau sekadar menjawab, "Oh....ngh.." Padahal dalam
hati aku tahu betul! Begitulah, tanpa terasa hubungan kami pun sudah
berjalan 2.5 tahun.
Pada suatu hari,
aku melihat (membaca) sebait kata dari sebuah buku, makna dari kata-kata
tersebut kira-kira : "Jika bukan suami istri tapi melakukan hubungan
seks, maka itu sama dengan melakukan hal yang paling kotor, adalah
sesuatu yang tidak diperkenankan Sang Dewata...."
Melihat
(membaca) kata-kata itu, batinku pun tersontak seketika, "Ya Tuhan..!
Ternyata aku sedang melakukan hal yang paling kotor! Oh..! Ternyata para
dewa di langit menyaksikan semua itu."
Batinku
terus berteriak, "Aku menyesal! Aku tidak ingin hidup seperti ini lagi!
Aku ingin kembali dalam kehidupan yang sederhana dan tanpa beban
seperti dulu lagi, sungguh aku tak ingin hidup seperti ini lagi!"
Satu
bulan kemudian, mungkin para dewa di atas langit sana mendengar
kata-kata dari sanubariku, akhirnya kami berpisah. Meski perpisahan
adalah sesuatu yang menyedihkan, namun, aku tidak perlu lagi hidup
seperti itu lagi, tidak perlu mencemaskan ini itu lagi setiap bulan!
Kini hidupku sangat tenang, bahagia, meski mengharapkan sentuhan cinta,
dan berharap memiliki seberkas cinta yang murni, ini juga sudah cukup
buatku.Semoga. (jhon/ran)/ erabaru. link: net-http://erabaru.net/cerita/cerpen/7944-malam-pertama-penuh-sesal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar