Steve Jobs si pencipta
keajaiban Apple justru terkena kanker pankreas yang langka pada puncak
kejayaannya, sehingga tak pelak dunia menyayangkan nasib tragis yang
menimpanya.
Pada 24 Agustus lalu,
Steve Jobs, sang tokoh legendaris Sillicon Valley AS, menulis surat kepada
Dewan Direksi perusahaan Apple Inc. untuk berhenti pada tugasnya sebagai
CEO. Pada hari itu juga, Saham Apple jatuh 7% setelah jam perdagangan,
menunjukkan reaksi pedih dari pasar atas pengunduran diri Jobs.
Steve Jobs, pendiri
perusahaan Apple berbicara mengenai kehidupan pribadinya di hadapan para
lulusan Universitas Stanford pada 2005 lalu: “Saat berusia 17 tahun, saya
membaca sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Jadikanlah setiap hari sebagai hari
terakhir dalam hidupmu, maka hidupmu akan terasa mudah’. Pepatah ini sangat
memengaruhi hidup saya. Selama 33 tahun terakhir, setiap pagi saya selalu
bercermin dan bertanya pada diri saya sendiri: Jika hari ini adalah hari
terakhir dalam hidupmu, apa yang akan saya lakukan?”
Ia tipe seorang pahlawan
Amerika, beberapa kali jatuh bangun, namun tetap tegar dan tidak goyah. Ia
membangkitkan tren baru komputer pribadi, mendirikan Apple yang sempat mengubah
zaman, namun justru dijegal di puncak kejayaannya, dan jatuh ke dasar lembah.
12 tahun kemudian, ia bangkit kembali, dan memulai era “Jobs” yang kedua,
kembali memimpin pasukannya, menciptakan kejayaan Apple.
Dititipkan pada Keluarga
Miskin
Steve Jobs lahir pada
1955, dan tumbuh di Kota Los Altos, California, AS. Ayahnya adalah seorang
intelektual ilmu politik, sedangkan ibunya adalah seorang terapis bicara. Namun
selang beberapa waktu setelah dilahir, Steve dititipkan kepada orang lain,
karena ketika itu kedua orang-tuanya belum menikah.
Orang tua asuhnya
bukanlah kaum intelektual. Kehidupan materi mereka juga sangat sulit, namun
mereka mengasuh kedua anak pungut mereka dengan penuh kasih sayang dan
dukungan. Bisa dikatakan keduanya bekerja keras banting tulang untuk menghidupi
dan membiayai kedua anak itu bersekolah.
Namun saat pertama kali
bertemu dengan adik perempuan kandungnya sendiri, hati Steve teramat sedih.
Adik Steve adalah seorang penulis. Selain kemiripan wajah, sang adik
memancarkan aura seorang seniman terpelajar yang sangat unik.
Penulis? Sungguh suatu
gelar yang anggun! Dalam hati Steve berkata: “Ah, seandainya saya tidak
dibuang, seandainya dapat tumbuh besar di sebuah keluarga terpelajar dan bukan
di keluarga miskin, apakah hidup saya akan jauh lebih cerah?”
Fakta membuktikan bahwa
Steve memiliki sifat bawaan cemerlang, meskipun tidak dididik secara khusus,
gen seniman yang tertanam dalam darahnya akhirnya tumbuh dengan sendirinya.
Mencari Spiritual Timur,
Memurnikan Batin
Di masa remaja, ia mulai
antusias menggali spiritual dari Timur. Ia membaca banyak buku agama dan
filosofi, dan menjadi vegetarian sejati, serta melewati kehidupan yang sangat
sederhana. Ia tidak bisa menelan makanan hewani. Dan jenis makanan vegetarian
yang lolos pemeriksaannya pun sangat terbatas. Ia hampir selalu hanya makan
roti gandum dan buah-buahan, juga sering melakukan “puasa”. Orang lain yang
melihat Steve sering merasa tidak habis pikir terhadap “pemakan buah” yang
sering kali berada dalam “keadaan kelaparan” jangka panjang ini.
Steve seolah
tergesa-gesa untuk menemukan rahasia pemurnian batin dari kebudayaan Timur yang
misterius, namun di sisi lain ia juga ingin bertempur di ajang profesi dan
mengembangkan potensinya. Keduanya ini, baik keinginan rohani maupun materi,
terus menerus muncul silih berganti dan saling tarik menarik. Keduanya terus
berseteru, dan akhirnya keduanya menang.
Setelah setahun
berkuliah di Reed University, Steve memulai “pengembaraannya”. Awalnya
ia bekerja di Apple Orchard di daerah Oregon, lalu melanjutkan ke sebuah
perusahaan permainan komputer yang masih muda di Silicon Valley. Dan di masa
awal petualangannya ini, masih belum banyak hal yang ia dapatkan.
Dengan uang yang
diperolehnya melalui jerih payah, Steve melakukan perjalanan suci ke India
untuk memuaskan hasratnya akan eksotisme Timur. Setelah beberapa bulan
melanglang buana, ia kembali ke Silicon Valley. Mungkin perjalanan ke India
telah memicu energi mengejutkan dalam dirinya, inovasinya pun terpancar deras
tak terbendung!
Apple Ciptakan
Konglomerat Berusia 23 Tahun
Pada 1976, ketika ia
berusia 21 tahun, di garasi rumah orang tuanya di Mountain View, Silicon
Valley, ia berhasil merakit sebuah komputer yang luar biasa - Apple Computer.
Perangkat itu memiliki tampak luar yang bulat dan halus, dengan kemampuan yang
dirancang mudah digunakan, serta keindahan yang memukau. Perangkat ini tak lagi
sebuah alat besar yang hanya bisa dipasang pada instansi tertentu, melainkan
sebuah alat elektronik rumah tangga yang dapat digunakan oleh setiap orang.
Produk teknologi ini
ternyata mampu menarik minat konsumen bak “buah apel”. Order pun terus
berdatangan, membuat si miskin ini menyaksikan “harta yang datang ibarat
gelombang”. Hingga usia 23 tahun, ia telah memiliki 1 juta dolar AS, setahun
kemudian, kekayaannya mencapai lebih dari 10 juta dolar AS. Ia menjadi sibuk
menghitung uang yang masuk bersama dengan Steven Wozniak, rekan pendiri
perusahaan Apple mereka.
Datangnya kekayaan dan
ketenaran dalam sekejap justru membuatnya merasa tidak pasti dan tidak tenang.
Ia seolah tidak tahu bagaimana harus menggunakan kekayaannya, dan masih tinggal
di sebuah rumah kayu kecil yang sudah reot bersama pacarnya. Meskipun akhirnya
ia membeli sebuah rumah mewah, tetapi di dalam rumah tidak diisi perabot apa
pun, bahkan sebuah ranjang pun tidak ada!
Temannya yang tidak
tega, berbaik hati dengan mengajaknya ke sebuah toko perabot antik untuk
memilih kebutuhannya, namun sang teman justru pulang dengan kecewa. Steve
adalah seorang penganut kesederhanaan yang ekstrim. Ia lebih baik hidup di
dalam suatu ruangan kosong kecuali ada sesuatu benda yang benar-benar sempurna
baginya. Ia menjalaninya dengan penuh totalitas, sehingga membuatnya harus
tinggal di sebuah rumah besar yang kosong selama bertahun-tahun. (Sun Yun /
The Epoch Times / lie)
Refleksi :
Steve adalah seorang yang sederhana, penuntut kesempurnaan dan seorang pencari sejati. Sesungguhnya semua ada di dalam diri kita namun mampukah kita menemukan kekayaan yang ada dalam diri kita sendiri? Seorang yang dikatakan kaya sebenarnya ditentukan pertama adalah kondisi batinnya. Jika seseorang merasa semua cukup dan mensyukurinya, berarti ia sudah kaya dalam arti yang sesungguhnya.
Dapatkan ebook gratis, pelatihan karakter moral di www.karaktermoral.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar