Senin, 14 Mei 2012

Steve Jobs 1


(Epochtimes.co.id)
Steve Jobs si pencipta keajaiban Apple justru terkena kanker pankreas yang langka pada puncak kejayaannya, sehingga tak pelak dunia menyayangkan nasib tragis yang menimpanya. 

Pada 24 Agustus lalu, Steve Jobs, sang tokoh legendaris Sillicon Valley AS, menulis surat kepada Dewan Direksi perusahaan Apple Inc. untuk berhenti pada tugasnya sebagai CEO. Pada hari itu juga, Saham Apple jatuh 7% setelah jam perdagangan, menunjukkan reaksi pedih dari pasar atas pengunduran diri Jobs.

Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple berbicara mengenai kehidupan pribadinya di hadapan para lulusan Universitas Stanford pada 2005 lalu: “Saat berusia 17 tahun, saya membaca sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Jadikanlah setiap hari sebagai hari terakhir dalam hidupmu, maka hidupmu akan terasa mudah’. Pepatah ini sangat memengaruhi hidup saya. Selama 33 tahun terakhir, setiap pagi saya selalu bercermin dan bertanya pada diri saya sendiri: Jika hari ini adalah hari terakhir dalam hidupmu, apa yang akan saya lakukan?”
Ia tipe seorang pahlawan Amerika, beberapa kali jatuh bangun, namun tetap tegar dan tidak goyah. Ia membangkitkan tren baru komputer pribadi, mendirikan Apple yang sempat mengubah zaman, namun justru dijegal di puncak kejayaannya, dan jatuh ke dasar lembah. 12 tahun kemudian, ia bangkit kembali, dan memulai era “Jobs” yang kedua, kembali memimpin pasukannya, menciptakan kejayaan Apple.

Dititipkan pada Keluarga Miskin
Steve Jobs lahir pada 1955, dan tumbuh di Kota Los Altos, California, AS. Ayahnya adalah seorang intelektual ilmu politik, sedangkan ibunya adalah seorang terapis bicara. Namun selang beberapa waktu setelah dilahir, Steve dititipkan kepada orang lain, karena ketika itu kedua orang-tuanya belum menikah.
Orang tua asuhnya bukanlah kaum intelektual. Kehidupan materi mereka juga sangat sulit, namun mereka mengasuh kedua anak pungut mereka dengan penuh kasih sayang dan dukungan. Bisa dikatakan keduanya bekerja keras banting tulang untuk menghidupi dan membiayai kedua anak itu bersekolah.
Namun saat pertama kali bertemu dengan adik perempuan kandungnya sendiri, hati Steve teramat sedih. Adik Steve adalah seorang penulis. Selain kemiripan wajah, sang adik memancarkan aura seorang seniman terpelajar yang sangat unik.
Penulis? Sungguh suatu gelar yang anggun! Dalam hati Steve berkata: “Ah, seandainya saya tidak dibuang, seandainya dapat tumbuh besar di sebuah keluarga terpelajar dan bukan di keluarga miskin, apakah hidup saya akan jauh lebih cerah?”
Fakta membuktikan bahwa Steve memiliki sifat bawaan cemerlang, meskipun tidak dididik secara khusus, gen seniman yang tertanam dalam darahnya akhirnya tumbuh dengan sendirinya.

Mencari Spiritual Timur, Memurnikan Batin
Di masa remaja, ia mulai antusias menggali spiritual dari Timur. Ia membaca banyak buku agama dan filosofi, dan menjadi vegetarian sejati, serta melewati kehidupan yang sangat sederhana. Ia tidak bisa menelan makanan hewani. Dan jenis makanan vegetarian yang lolos pemeriksaannya pun sangat terbatas. Ia hampir selalu hanya makan roti gandum dan buah-buahan, juga sering melakukan “puasa”. Orang lain yang melihat Steve sering merasa tidak habis pikir terhadap “pemakan buah” yang sering kali berada dalam “keadaan kelaparan” jangka panjang ini.
Steve seolah tergesa-gesa untuk menemukan rahasia pemurnian batin dari kebudayaan Timur yang misterius, namun di sisi lain ia juga ingin bertempur di ajang profesi dan mengembangkan potensinya. Keduanya ini, baik keinginan rohani maupun materi, terus menerus muncul silih berganti dan saling tarik menarik. Keduanya terus berseteru, dan akhirnya keduanya menang.
Setelah setahun berkuliah di Reed University, Steve memulai “pengembaraannya”. Awalnya ia bekerja di Apple Orchard di daerah Oregon, lalu melanjutkan ke sebuah perusahaan permainan komputer yang masih muda di Silicon Valley. Dan di masa awal petualangannya ini, masih belum banyak hal yang ia dapatkan.
Dengan uang yang diperolehnya melalui jerih payah, Steve melakukan perjalanan suci ke India untuk memuaskan hasratnya akan eksotisme Timur. Setelah beberapa bulan melanglang buana, ia kembali ke Silicon Valley. Mungkin perjalanan ke India telah memicu energi mengejutkan dalam dirinya, inovasinya pun terpancar deras tak terbendung!

Apple Ciptakan Konglomerat Berusia 23 Tahun
Pada 1976, ketika ia berusia 21 tahun, di garasi rumah orang tuanya di Mountain View, Silicon Valley, ia berhasil merakit sebuah komputer yang luar biasa - Apple Computer. Perangkat itu memiliki tampak luar yang bulat dan halus, dengan kemampuan yang dirancang mudah digunakan, serta keindahan yang memukau. Perangkat ini tak lagi sebuah alat besar yang hanya bisa dipasang pada instansi tertentu, melainkan sebuah alat elektronik rumah tangga yang dapat digunakan oleh setiap orang.
Produk teknologi ini ternyata mampu menarik minat konsumen bak “buah apel”. Order pun terus berdatangan, membuat si miskin ini menyaksikan “harta yang datang ibarat gelombang”. Hingga usia 23 tahun, ia telah memiliki 1 juta dolar AS, setahun kemudian, kekayaannya mencapai lebih dari 10 juta dolar AS. Ia menjadi sibuk menghitung uang yang masuk bersama dengan Steven Wozniak, rekan pendiri perusahaan Apple mereka.
Datangnya kekayaan dan ketenaran dalam sekejap justru membuatnya merasa tidak pasti dan tidak tenang. Ia seolah tidak tahu bagaimana harus menggunakan kekayaannya, dan masih tinggal di sebuah rumah kayu kecil yang sudah reot bersama pacarnya. Meskipun akhirnya ia membeli sebuah rumah mewah, tetapi di dalam rumah tidak diisi perabot apa pun, bahkan sebuah ranjang pun tidak ada!
Temannya yang tidak tega, berbaik hati dengan mengajaknya ke sebuah toko perabot antik untuk memilih kebutuhannya, namun sang teman justru pulang dengan kecewa. Steve adalah seorang penganut kesederhanaan yang ekstrim. Ia lebih baik hidup di dalam suatu ruangan kosong kecuali ada sesuatu benda yang benar-benar sempurna baginya. Ia menjalaninya dengan penuh totalitas, sehingga membuatnya harus tinggal di sebuah rumah besar yang kosong selama bertahun-tahun. (Sun Yun / The Epoch Times / lie)

Refleksi :

Steve adalah seorang yang sederhana, penuntut kesempurnaan dan seorang pencari sejati. Sesungguhnya semua ada di dalam diri kita namun mampukah kita menemukan kekayaan yang ada dalam diri kita sendiri? Seorang yang dikatakan kaya sebenarnya ditentukan pertama adalah kondisi batinnya. Jika seseorang merasa semua cukup dan mensyukurinya, berarti ia sudah kaya dalam arti yang sesungguhnya.

Dapatkan ebook gratis, pelatihan karakter moral di www.karaktermoral.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar