Kisah Ayahku,
Seorang Penjual Tahu Yang Tunawicara
Diterjemahkan Oleh:
Susiany
Kisah nyata yang sangat menyentuh
perasaan
Tempat kejadian di kota Tie Ling , provinsi Liao Ning utara
, China.
Di
suatu sudut di ujung jalan di dalam kota Tie Ling ......hampir setiap pagi atau
senja,
orang2 akan melihat seorang laki-laki tua dengan perlahan-lahan mendorong
gerobak tahu dagangannya .
Dari corong pengeras suara terdengar suara merdu dan
jernih seorang gadis. Tahu.. tahu ... tahu asin.....!
Tahu... tahu.... , itulah suaraku dan laki-laki tua
pedagang tahu itu adalah ayahku. Ayahku adalah seorang tunawicara atau
bisu.
Setelah aku berusia duapuluhan, barulah aku
mempunyai keberanian untuk menaruh rekaman suaraku di gerobak dorong tahu jualan
ayahku untuk menggantikan suara keliningan yang telah dia pergunakan selama
puluhan tahun.
Saat
aku berusia 2-3 tahun, aku sudah merasakan betapa memalukan mempunyai seorang
ayah yang bisu,
sehingga
dari kecil aku telah membencinya.
Saat
itu aku melihat anak-anak kecil yang ikut ibunya membeli tahu dagangan ayahku,
mereka mengambil lalu lari tanpa membayarnya. Ayahku hanya dapat menjulurkan
leher tanpa dapat menyuarakan apapun. Aku tidak seperti kakak sulungku yang
langsung mengejar dan memukul anak-anak tersebut .
Saat
itu aku sedih sekali melihat kejadian tersebut dan hanya dapat berdiam diri
saja. Herannya aku tidak membenci anak-anak tersebut,
malah
sebaliknya membenci ayahku yang bisu itu .
Meskipun
ketika kedua abangku
membantu menyisir rambutku dan membuatku sakit, aku tetap tidak mengizinkan
ayahku mengepang kuncir kecilku.
Saat
ibu wafat, beliau tidak meninggalkan foto dirinya yang cukup besar, hanya
selembar foto berukuran 2 inci hitam putih bersama dengan tetangganya sebelum
dia menikah.
Di
saat aku sedang sebal terhadap ayah, maka ayahku akan memandangi foto ibuku
dengan berdiam diri, memandangi tanpa berhenti sampai dia harus mulai bekerja
lagi, baru pergi meninggalkan foto tersebut .
Aku paling jengkel bila anak-anak lain memanggilku
dengan "anak ketiga si bisu ". Saat itu aku tidak dapat melawan mereka, maka aku
hanya akan berlari pulang ke rumah menghadap ayah yang sedang mendorong
penggilingan tahu. Aku kemudian membuat sebuah lingkaran di atas tanah lalu
meludah di tengah2 nya.
Walaupun aku
tidak mengerti apa artinya hal itu , namun aku sering melihatnya di saat
anak-anak tersebut mengejek ayahku melakukan hal yang serupa. Maka kesimpulanku
inilah ejekan yang paling sadis untuk seorang bisu.
Pertama
kali aku mengejek ayahku dengan cara ini, ayah segera menghentikan pekerjaannya
dan lama berdiam memandangi diriku dan air matanya mengalir dengan
deras.
Aku
jarang melihat dia menangis, tetapi hari itu dia bersembunyi di ruang pembuatan
tahu dan menangis semalam suntuk. Itulah sebuh tangisan TANPA SUARA. Ketika
melihat ayah menangis, barulah aku merasa puas karena memperoleh pelampiasan
atas segala rasa
hina yang aku terima selama ini.
Sejak
saat itu aku sering berlari di depannya , mengejeknya lalu meninggalkannya
seorang diri. Namun saat-saat itu ayahku sudah tidak menangis lagi,
tubuhnya
yang kurus hanya meringkuk dan menyandarkan diri di kayu atau di meja
penggilingan tahu. Mimik
wajahnya justeru membuat aku lebih merasa hina.
Aku
kemudian memutuskan untuk belajar dengan giat dan baik,
masuk
universitas dan meninggalkan desa ini, dimana
semua orang tahu bahwa ayahku adalah si bisu
yang memalukan itu. Inilah harapan dan cita-citaku saat
itu.
Aku
tidak tahu kalau semua abangku
sudah berkeluarga,
aku
juga tidak tahu bagaimana keadaan bisnis tahu ayahku. Demikian juga aku
tidak tahu berapa musim telah berlalu seperti juga berapa kampung dan
desa
bunyi keliningan itu mengelilinginya.
Aku
memacu diriku dengan rajin belajar secara mati-matian dan bersikap keras
terhadap diriku sendiri, sehingga achirnya aku berhasil diterima di sebuah
universitas.
Di
suatu senja di musim gugur tahun 1992, untuk pertama kalinya aku melihat
ayahku memakai baju berwarna biru yang dibuat bibiku pada tahun 1977.
Sambil duduk di bawah lampu dengan penuh perasaan gembira dan penuh rasa
hormat dan hati-hati dia memberikan setumpuk uang yang masih terasa bau
tahu ke dalam tanganku. Mulutnya tidak
henti-hentinya bergumam.
Aku
terhenyak mendengar rasa bangga dan kehangatan darinya. Terhenyak melihatnya
tersenyum bangga dan penuh kepuasan ketika memberitahu keberhasilsanku
kepada para tetangga dan famili.
Demikan
juga saat aku melihat ayahku bersama paman kedua dan abangku
menggelandang keluar seekor babi yang gemuk dan besar untuk disembelih
dan mengundang seisi kampung untuk merayakan keberhasilanku masuk ke
universitas .
Aku
tidak tahu faktor apa yang menyentuh lubuk hatiku yang keras itu.... sehingga
tanpa terasa aku menitikkan air mata, aku MENANGIS.
Saat
makan bersama, di hadapan para tamu aku mengambilkan beberapa potong
daging ke dalam mangkoknya. Sambil
menangis aku berkata AYAH, AYAH makan dagingnya ya! Ayah pasti tidak dapat mendengarnya,
namun aku yakin dia pasti mengerti apa
maksudku. Dari sorot matanya aku melihat secercah sinar yang tidak pernah
terpancarkan sebelumnya.
Air
matanya bercampur dengan arak Gao Liang (Gandum)
yang
diteguknya sambil mengunyah
daging yang diambilkan ke piring oleh puteri tercintanya. Ketika itu
ayahku benar-benar mabuk penuh kegembiraan, rona wajahnya merah
sekali,
pinggangnya
begitu tegak , dan bahasa tubuhnya pun tampak begitu indah dan elegan.
Mau
tahu apa sebabnya? Selama delapanbelas tahun,
aku
ulangi: selama delapanbelas
tahun dia belum pernah mendengar aku memanggilnya ayah!
Dengan
susah payah, ayah tetap menjalankan usaha tahunya agar dapat membiayai
kuliahku dengan lembaran-lembaran uang yang masih terasa aroma bau tahunya
sehingga aku berhasil menyelesaikan kuliahku.
Tahun
1996 aku lulus dan ditugaskan di kota yang berjarak 40 km dari kampung
halamanku. Setelah semua urusannya beres, aku menjemput ayahku yang selama
ini hidup sendiri untuk menikmati
sisa hidupnya di kota bersamaku.
Namun
apa mau dikata, saat dalam perjalanan pulang ke kampung halamanku, terjadilah
kecelakaan ini......
Dari kakak iparkulah achirnya aku tahu apa sebenarnya yang
menimpa diriku saat itu.
Diantara kerumunan orang
yang menyaksikan kecelakaan itu ada yang mengenaliku adalah anak ketiga dari ayah bisuku.
Kedua abangku beserta istrinya
tiba,
melihat
diriku yang sudah tidak sadarkan diri, mereka menjadi kalang kabut. Yang
terakhir datang adalah ayahku ..... Dia menyeruak dari kerumunan orang
banyak,
menggendongku yang sudah
dianggap pasti mati oleh orang-orang yang menyaksikan
dan
menyetop sebuah kendaraan. Ayah menopang tubuhku dengan kedua kakinya, merogoh
saku kantong dan mengeluarkan segepok uang receh hasil penjualan tahu
dan menjejalkannya kedalam tangan si supir dan memohon kepadanya unit untuk
menghantarkan aku ke rumah sakit.
Menurut kakak iparku, ayahku yang bagitu ringkih saat itu
menjelma menjadi begitu bertenaga dan tabah.
Setelah luka-lukaku
dibersihkan, dokter meminta untuk dipindahkan ke rumah sakit lain, mamberitahu ke abangku bahwa aku sudah
tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup .
Keadaanku saat itu, tekanan darahku sudah hampir tidak
terukur, dan kepalaku luka parah dan bengkak.
Ayahku merobek "baju
berkabung" yang telah dibeli oleh abangku dalam ke
terputusasaannya.
Ayah
menunjuk matanya sendiri dengan ibu jarinya,
kemudian menunjuk ke
aku,
menjulurkan
ibu
jarinya lagi,
menggoyang-goyang kan tangan
lalu menutup matanya. Artinya adalah: kalian jangan menangis,
saya
aja tidak menangis, maka kalian jangan menangis. Adik perempuanmu tidak akan meninggal,
dia baru berusia dua puluh tahunan, dia pastinya dapat bertahan, kita pasti
dapat menolongnya.
Dokter tetap dengan
pendiriannya, dia meminta abangku untuk memberitahu
ayahku.
Bahwa,
anak gadismu ini tidak dapat ditolong lagi, seandainya mau ditolongpun juga
harus mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit jumlahnya,
...
meskipun demikian juga belum
tentu tertolong
.
Ayahku bersujud di lantai, kemudian berdiri lagi, menunjuk
ke aku, mengacung-acungkan
tangannya, dengan bahasa tubuhnya membuat gerakan bercocok tanam, memotong rumput, memelihara babi, mendorong
penggilingan, dengan gaya-gaya tersebut ..... kemudian mengeluarkan sakunya yang
sudah kosong, kemudian memasukkannya lagi.
Artinya adalah : saya mohon,
tolonglah putriku, putriku sangat potensial sekali, kalian harus menolongnya,
...
Saya akan mengumpulkan uang untuk membayar semua ongkos-ongkos rumah sakit, dengan babi-babiku, bercocok tanam,
membuat tahu. Saya punya uang,
sekarang saya punya Empat
Ribu yuan! Dokter memegang erat
tangannya, menggeleng-gelengkan kepala, memberi isyarat bahwa uang ini masih jauh dari mencukupi
.
Ayahku gusar sekali, dia
menunjuk abangku, kakak iparku,
mengepalkan tinjunya mengisyaratkan bahwa kami dapat berusaha bersama, kami
pasti dapat melakukannya. Melihat
Dokter diam saja, maka ayah menunjuk-nunjuk platfon, menjejakkan
kaki di lantai,
menangkupkan kedua
tangannya, ditaruhnya dipelipis kanan sambil memejamkan mata. Yang berarti: saya
punya rumah, bisa dijual, saya bisa tidur dilantai ....
sekalipun saya bangkrut, saya juga harus berjuang
untuk kehidupan anak gadisku .
Lalu menunjuk Dokter sambil
menangkupkan kedua tangannya, artinya Dokter jangan kuatir kita tidak akan mengingkari janji
...
soal
biaya kami akan berusaha untuk mendapatkannya.
Abang
tertuaku sambil menangis
menjelaskan arti dari bahasa tubuh ayahku ke Dokter tersebut.
Belum sampai selesai menjelaskannya ,Dokter yang telah
terbiasa menghadapi pasien-pasien yang sedang sekarat, kali ini tidak
kuasa menahan airmatanya yang telah memenuhi seluruh wajahnya.
Melihat gerakan tangan
ayahku,
saat
memperagakan dan mengutarakan maksudnya, siapa pun yang menyaksikannya pasti
akan meneteskan airmata.
Kemudian sang Dokter berkata, sekalipun telah dilakukan
tindakan operasi, juga belum tentu dapat tertolong
nyawanya.
Ayahku menepuk-nepuk kantong sakunya dan menepuk-nepuk
dadanya, yang berarti: Kalian harus berusaha sekuat tenaga, seandainya gagal
sekalipun saya akan tetap membayarnya dan tidak akan
complain.
Cinta yang sangat agung dan
tulus dari seorang ayah .....
tidak
saja menopang hidupku,
namun
juga menopang dan menyemangati sang Dokter dalam keyakinannya untuk
mengoperasiku.
Aku dibawa masuk kedalam
ruang operasi ....
ayah
menungguiku di luar kamar operasi sambil mondar mandir dengan gelisah
....
sampai
sol sepatunya robek.
Ayah tidak meneteskan
setitik airmata pun, namun dalam penantian selama lebih kurang sepuluh jam itu seluruh mulutnya muncul
gelembung-gelembung kecil. Dengan tidak henti-hentinya ayah berdoa kepada Thian,
mohon diberikan kesembuhan dan
kesempatan untuk hidup lagi bagi putrinya. Rupa-rupanya Thian pun tersentuh
hatinya atas ketulusan ayahku .....
dan aku
terselamatkan!
Selama setengah bulan aku
dalam keadaan koma dan tidak tahu sama sekali apa yang menimpa diriku. Aku telah
menjadi " manusia pohon " ....
semua
orang telah kehilangan keyakinan bahwa
aku
akan dapat sadar kembali. Hanya ayah yang dengan setianya menungguiku di samping
ranjangku, dengan suatu keyakinan
bahwa aku pasti akan sadar kembali. Dengan jari-jari tangannya yang kasar ayah
memijatiku dengan sangat hati-hati ..... Dan dengan suara yang tidak jelas dia terus
menerus memanggil-manggil namaku ... Dia memanggil : YOEN YA DAO ! YOEN YA DAO !
(anak gadis YOEN ), sadarlah! Ayah
menungguimu, minumlah air susu kacang yang baru kubuat ini
.......
Supaya para Dokter dan
perawat memperhatikanku, maka saat abangku menggantikan ayah untuk menungguiku, maka ayah
membuat tahu .....
Dan
masih dalam keadaan baru dan panas, dibagikannya
kepada para perawat dan juga karyawan yang ada dalam rumah sakit itu.
Walaupun ada peraturan dalam rumah sakit itu tidak boleh
menerima barang pemberian dari
keluarga pasien, namun menghadapi ketulusan, kejujuran dan keluguan dari
sikap ayahku itu, maka merekapun
menerimanya. Ayahku puas sekali
dan makin menambah keyakinannya bahwa aku pasti sembuh. Ayah berbicara dengan
bahasa tubuhnya kepada karyawan di rumah sakit itu: "Kalian adalah orang baik
dan hebat! Saya sangat yakin bahwa kalian pasti dapat menyembuhkan
putriku".
Dalam kurun waktu itu, untuk
mengumpulkan biaya rumah sakit,
ayah
menjajaki semua kampung-kampung
dan desa-desa di mana dia pernah menjual tahunya ...... Dengan
reputasinya,
di mana
orang-orang mengenal kebaikan, kejujurannya
.....
maka
ayah memperoleh banyak dukungan
untuk memperkuat semangatnya untuk menyelamatkan nyawa putrinya yang masih dalam keadaan
antara hidup dan mati.
Para tetanggga,
kawan-kawan dan sahabatnya
dengan sukarela membantu menyisihkan uang ....... Dan ayahku pun tidak
ceroboh, dia mencatatnya dengan seksama nama-nama penyumbang itu:
-
Chang San 20 yuan
-
Li Kang 100 yuan
-
Ny Wang 65 yuan
Suatu pagi setelah aku koma selama setengah bulan, achirnya aku dapat membuka mata! Yang kulihat adalah seorang tua yang sangat kurus, ayah membuka mulutnya lebar-lebar karena terperanjat ..... sangat girang melihat aku mendusin dan ayah menggumam tak karuan. Uban yang ada dikepalanya dengan cepat menjadi basah oleh keringat karena keharuannya ...
Ayahku, yang setengah bulan yang lalu masih belum beruban,
sekarang menjadi sangat tua
sekali, rambutnya penuh dengan uban putih dan tampak duapuluh tahun lebih
tua dari usia sebenarnya
....
Rambut dikepalaku yang botak
sudah mulai tumbuh kembali .....
ayahku
membelainya dengan
penuh
kasih sayang ..... Dulu sekali
belaian semacam ini adalah suatu kemewahan yang diharapkan olehnya
....
karena
selalu aku menolak saat ayah mau melakukannya.
Enam
bulan kemudian rambutku sudah mulai dapat dikepang! Aku meraih lengan
ayahku dan membiarkannya menyisir
rambutku ......
Ayah menjadi canggung sekali
....
Ayah
menyisirnya dengan pelan-pelan, namun ayah tidak dapat menyisirnya dengan baik
......
maka
aku mengikat rambutku asal- asalan saja dan naik ke gerobak dorong yang telah
dirubah menjadi sebuah kereta kecil.
Pernah sekali ayah
menghentikan keretanya, menghampiriku dan membuat gerakan seolah-olah mau
menggendongku, lalu kemudian membuat gerakan mau melemparku .....
kemudian membuat gerakan seperti menghitung
uang! Ternyata dia mau menjualku seperti tahu yang dijualnya ......
Tentunya ayah
bercanda,
maka
akupun menutup wajahku sambil menangis, maka ayah akan tersenyum tanpa suara ....... Dan
aku mengintip melalui sela-sela jari tanganku, melihatnya tertawa sambil berjongkok
dilantai. Permainan ini ayah lakukan sampai aku dapat berdiri dan berjalan lagi
...
Selain kepalaku yang masih
kadang-kadang sakit, selepas itu aku sangat sehat .... Kami bekerja keras
bersama-sama untuk melunasi pinjaman kami .....
Dan
achirnya ayah ikut aku pindah ke
kota dan hidup bersamaku.
Berhubung ayah sudah
terbiasa kerja, maka beliau tidak dapat berdiam diri ...
maka
aku menyewa sebuah rumah kecil
untuk ayah membuat usaha tahunya. Tahu buatan ayahku sangat enak,
harum,
empuk dan potongannya cukup besar sehingga pembeli suka sekali
menyantapnya!
Aku memasangkan alat pengeras suara di gerobak dagangannya,
walaupun ayah tidak dapat
mendengar suara nyaringku, namun beliau paham apa artinya! Begitu ayah memencet tombol itu, maka
dengan bangganya ayah mengangkat kepalanya dan dari wajah tuanya terpancar suatu
kepuasan dan kebahagiaan.
Bila aku mengingat dulu
betapa aku sering menghina dan mengejeknya, namun beliau tidak pernah mendendam sama sekali
.....
sehingga akupun tidak tega
untuk menyatakan penyesalanku.
Aku sering berpikir:
Seandainya bila semua INSAN dibumi ini penuh dengan music SYMPHONI CINTA kami dapat mendengarkannya,
menyimaknya, merasakannya, tergetar kalbu kita ....... Namun bagi ayahku yang
bisu itu, membuatku
memahami dan mengerti bahwa sebenarnya MUSIC yang paling indah dan dahsyat itu
adalah KEHENINGAN tanpa SUARA. Itu
adalah KEKUATAN terdahsyat yang tidak terbantahkan kekuatannya
.....
menghantarkan pemahamanku tentang CINTA ke tempat
posisi yang tertinggi.
Marilah kita saling
bersilahturami dan bersahabat secara tulus dan ichlas .....
oleh
karena dalam hidup ini kita sulit
dan jarang mendapatkan, menemukan persahabatan yang SEJATI.
Marilah kita berbuat lebih baik lagi terhadap orang tua
kita , karena setelah waktu berlalu maka yang tertinggal adalah
KENANGAN
Marilah kita lebih TULUS
lagi terhadap pasangan,
karena
setelah waktu berlalu tidak mungkin lagi dapat berjalan bersama sambil
bergandengan tangan.
Marilah kita lebih memperhatikan perkembangan anak kita,
karena setelah waktu berlalu maka kita tidak dapat lagi MEMELUK dan
MERANGKULNYA.
Marilah dalam setiap
PERTEMUAN, kesempatan kita untuk bersilahturami dengan TULUS TANPA PAMRIH .....
menyatakan rasa
berterimakasih dan bersyukur!
Biarkanlah setiap detik,
setiap saat yang kita temui adalah KETULUSAN. Karena .....
sekali
lagi karena .....
setelah
waktu berlalu ..... Maka semua ini tidak mungkin akan terjadi lagi
.......
Luar biasa sekali tulisannya,, mengharukan,,,
BalasHapusTrimakasih