TEMPO.CO, Kupang
- Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo dikabarkan marah-marah di
Hotel Nembrala Beach, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Kamis, 27 Juni
2013, sekitar pukul 20.00 Wita. Roy marah lantaran ajudannya tak mendapat kamar
di hotel itu.
"Dia (Roy Suryo) kesal karena
menilai kami lebih mengutamakan bule (turis) yang menginap di hotel
tersebut," kata Manajer Hotel Nembrala Beach, Yanto Kore Mega, yang
dihubungi Tempo, Minggu, 30 Juni 2013.
Sebetulnya banyak sekali berita
semacam ini yang kita dengar dan begitu memekakan telinga. Belum lama ini
seorang pejabat Babel diberitakan juga memukul pramugari karena tidak
mengindahkan aturan untuk tidak menggunakan ponsel di pesawat. Intinya para
pejabat dan pemimpin yang seharusnya melayani malah justru minta dilayani.
Satu fenomena yang sepertinya sudah
biasa dan dianggap wajar tapi tidak wajar. Coba perhatikan jika ada pejabat
atau aparat yang hendak melintas pastinya walaupun macet tetap menerobos.
Sepertinya ingin berkata, "saya ini orang penting, kalian minggirlah. Saya
ini repot, kalian mengertilah". Tanpa sadar akhirnya kita hanya bisa
pasrah jika pejabat atau aparat lewat sudah semestinya kita ini mempersilahkan
mereka lewat. Kalau perlu kita memberi hormat ...
Dimana Pemimpin?
Suatu hal yang saya yakini jika
seorang pemimpin semakin jauh dari rakyatnya pastilah dia hanya menjadi parasit
bahkan menjajah rakyatnya untuk kenikmatan sesaat. Sepertinya melihat tapi
buta, sepertinya mendengar tapi tuli.
Pengalaman memberi pelatihan kepada beberapa puskesmas dan RSUD, saya hanya bisa semakin prihatin. Para petugas menceritakan bagaimana pengalaman berhadapan dengan pejabat daerah, mulai dari anggota DPRD juga eksekutifnya. Sepertinya kalau sudah memiliki kuasa semua harus tunduk apa kata dan mau mereka,” Saya harus gratis walaupun saya tidak membawa jaminan apa pun”. Mereka tidak berpikir ke depan, hanya memikirkan saat ini saja. Mereka tidak mampu melihat kerepotan yang terjadi dengan tingkah soknya itu. Mengganggu sistem dan merusak moral kerja.
Pengalaman memberi pelatihan kepada beberapa puskesmas dan RSUD, saya hanya bisa semakin prihatin. Para petugas menceritakan bagaimana pengalaman berhadapan dengan pejabat daerah, mulai dari anggota DPRD juga eksekutifnya. Sepertinya kalau sudah memiliki kuasa semua harus tunduk apa kata dan mau mereka,” Saya harus gratis walaupun saya tidak membawa jaminan apa pun”. Mereka tidak berpikir ke depan, hanya memikirkan saat ini saja. Mereka tidak mampu melihat kerepotan yang terjadi dengan tingkah soknya itu. Mengganggu sistem dan merusak moral kerja.
Apakah ini yang disebut pemimpin? Yang main kuasa dan merasa memiliki kekuatan untuk menekan orang lain. Negeri ini sudah miskin teladan pemimpin. Bukankah seharusnya dia yang memimpin sungguh betul melayani. Tapi jauh dari kenyataan, dia yang memegang tampuk kekuasaan malah haus dipuja dan minta dilayani.
Pemimpin punya visi bukan balsem
Rasanya jika keadaan seperti ini tanpa pemimpin juga tidak ada pengaruh apa apa. Mengapa? karena puncak pimpinan saat ini tidak melakukan terobosan dan perubahan yang nyata sehingga menggugah rakyatnya. Bukankah pemimpin seharusnya memberi teladan juga motivasi. Terlebih dengan keadaan sulit, pemimpin harus mampu mengkomunikasikan visi dan empati secara nyata. Bukan membuat lagu dan berikan balsem (BLSM).
Balsem itu panas, tapi sebentar saja hilang tidak ada rasanya lagi. Seperti permen hanya manis sebentar tapi jika lupa gosok gigi merusak gigi. Pemimpin harusnya memikirkan jauh dan bertindak berdasarkan prinsip. Tidak terasa sekarang, tapi nantinya terasa. Seperti Pak Ali Sadikin lakukan, bukankah dulu juga ada pro dan kontra? Tapi dengan komunikasi dan ketegasan, Jakarta bisa berdiri dengan cukup teratur karena jasa Beliau. Beliau punya Visi, ia berani membayar demi sesuatu yang akan dirasakan nanti oleh rakyatnya, bukan pujian sesaat.
Rakyat juga belajar
Pengalaman buruk yang terus menerus
ditonjolkan oleh aparat dan pejabat pada akhirnya akan menimbulkan sikap skeptis
(tidak percaya). Masyarakat belajar bahwa ternyata para pemimpin ini egois dan
mementingkan diri sendiri. Di depan mata mereka (rakyat) dipertontonkan ketidak
adilan dan kekerasan. Rakyat akhirnya hanya mampu melindungi dirinya sendiri
dan bersikap oportunis. Maka ketika terjadi pilkada, uangnya diterima, masalah
yang dicoblos siapa mereka juga tidak peduli. Bahkan sebagian rakyat menerima
duitnya namun tidak memilih siapa pun.
Masyarakat lambat laun acuh dan sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi. Siapa pemimpin, bagaimana memimpinnya, sudah tidak terlalu pusing. Namun sebetulnya rakyat memendam suatu energy negative yang bisa meledak kapan saja. Sebagian dendam mereka luapkan ke langit (Tuhan) agar memberi keadilan.
Jika rakyat sudah begitu menderita maka penderitaan apa pun tidak akan ditakuti. Dihadapkan dengan senjatapun mereka akan meradang. Mengapa? karena rakyat seringkali tidak rasional cenderung emosional.
Hai pemimpin, masih ada waktu untuk bersikap dan memperbaiki diri, beranilah mencari ke dalam menemukan apa yang baik dan benar untuk dilakukan. Hadirlah dekat dengan rakyatmu, semakin jauh engkau dari kami (rakyat), engkau tidak mampu membuat perubahan apa pun, malah sebaliknya engkau tengah menzolimi kami …
Undangan Khusus !
OPEN HOUSE: Extra love & Care: Program Bagi Sahabat dengan Disabilitas Intelegensia
OPEN HOUSE: Extra love & Care: Program Bagi Sahabat dengan Disabilitas Intelegensia
Informasi dan Pendaftaran ke: 021-29382939/
44579745/ 70754779/ 08127917540/ 0811997713/ 0817133238: FREE (dengan
konfirmasi)
Salam hangat … candratua (rakyat jelata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar