Untuk Si Anak Hilang yang Telah Kembali, Selamat Datang!
Oleh: Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Oleh: Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Zoom
Bahunya yang kekar bergerak hebat, karena upayanya yang begitu kuat menahan tangisan. Sudah 22 hari dipendamnya, di depan istri, di depan anak-anaknya, di depan orang tua, di depan mertua, di hadapan semua anak buahnya, di antara rekan bisnisnya. Tapi kini sudah tidak sanggup lagi. Ia meledak, meraung, dan terus berkata, “Ya Tuhan…” Ada keheningan mencekam saat mendengarkan kepedihannya. Sampai akhirnya ia terisak, kemudian diam. Kemudian ia berkata, “Saya sudah tersesat, Bu. Saya menyakiti hati istri saya. Saya berselingkuh. Saya dosa.” Wajah istrinya yang sedari awal sudah pucat pasi, semakin tampak putih, seperti ukiran batu pualam yang begitu indah, namun begitu sedih, begitu sepi….
Tersesat
Anda pernah tersesat? Saya pernah. Waktu kecil, tangan saya pernah terlepas dari pegangan mama saya, di salah satu pusat perbelanjaan yang ramai di Bandung. Awalnya saya tidak sadar, bahwa mama saya sudah tidak ada dekat saya, karena mata saya begitu asik dengan aneka mainan yang berjejer. Sungguh menggiurkan, siapa yang ingat mama? Kemudian saya sadar, bahwa di tengah hiruk pikuk keramaian orang belanja, saya sendirian. Tidak ada mama, tidak ada orang yang saya kenal. Apa yang saya rasakan? PANIK, amat panik.
Bahunya yang kekar bergerak hebat, karena upayanya yang begitu kuat menahan tangisan. Sudah 22 hari dipendamnya, di depan istri, di depan anak-anaknya, di depan orang tua, di depan mertua, di hadapan semua anak buahnya, di antara rekan bisnisnya. Tapi kini sudah tidak sanggup lagi. Ia meledak, meraung, dan terus berkata, “Ya Tuhan…” Ada keheningan mencekam saat mendengarkan kepedihannya. Sampai akhirnya ia terisak, kemudian diam. Kemudian ia berkata, “Saya sudah tersesat, Bu. Saya menyakiti hati istri saya. Saya berselingkuh. Saya dosa.” Wajah istrinya yang sedari awal sudah pucat pasi, semakin tampak putih, seperti ukiran batu pualam yang begitu indah, namun begitu sedih, begitu sepi….
Tersesat
Anda pernah tersesat? Saya pernah. Waktu kecil, tangan saya pernah terlepas dari pegangan mama saya, di salah satu pusat perbelanjaan yang ramai di Bandung. Awalnya saya tidak sadar, bahwa mama saya sudah tidak ada dekat saya, karena mata saya begitu asik dengan aneka mainan yang berjejer. Sungguh menggiurkan, siapa yang ingat mama? Kemudian saya sadar, bahwa di tengah hiruk pikuk keramaian orang belanja, saya sendirian. Tidak ada mama, tidak ada orang yang saya kenal. Apa yang saya rasakan? PANIK, amat panik.
Saya mencari, ke sana, ke sini, berteriak,
bertanya, menyusuri kembali jalan yang tadi saya lewati, mata saya
mencari-cari. Entah berapa lama, tapi saya merasa amat lamaaaa. Begitu
menakutkan rasa tersesat. Seolah-olah saya tidak akan pernah ditemukan,
sepertinya saya tidak akan bisa bertemu mama lagi. Tangis saya meledak, tidak
bisa lagi ditahan, begitu ketakutan. Sampai saya ditolong oleh petugas
keamanan, yang juga mencari saya. Dia bersama mama saya.
Sepertinya hanya pengelaman sepele, “ah, cuma tersesat sebentar, lagian juga banyak orang.” Tapi bila Anda bertanya kepada anak-anak yang pernah tersesat, pengalaman tersesat ternyata menjadi pengalaman yang traumatis dalam diri anak. Rasa begitu jauh, rasa tidak aman, ketakutan, kesepian, rasa sendirian, rasa takut ditinggalkan.
Saya memahami perasaan Bapak dalam kisah zoom di atas, ketika ia berkata,”saya tersesat”. Ada rasa semakin jauh dengan orang yang dicintai, karena perselingkuhannya membuat Sang Istri menjadi begitu dingin. Ada rasa tidak aman, banyak ketakutan, kesepian, sendirian dalam penghakiman, dan takut Sang Istri meninggalkannya.
Tobat
Kapan terakhir Anda sungguh bertobat? Ketika seorang sahabat yang sudah bersih dari narkoba berkata, “tobat, gue, tobatttt…”. Apakah maksudnya? Apakah menyesal? Apa menyesal sekaligus rasa ‘kapok’ alias tidak bermaksud untuk mengulangi lagi? Ataukah menyesal, plus kapok, plus janji untuk berubah? Cukupkah untuk disebut pertobatan?
Belajar dari diri saya sendiri yang sudah banyak tersesat dalam hidup, dan dari beberapa sahabat yang juga mencari kelegaan, maka rumus pertobatan menjadi:
Tobat = Menyesal + Kapok + Janji Berubah + Berubah + Rela Menanggung Konsekuensi dari Kesalahan
Masih panjang rupanya perjalanan pertobatan, tidak berhenti sampai janji untuk berubah. Karena moment paling berat justru ketika BERUBAH dan RELA MENANGGUNG KONSEKUENSI KESALAHAN.
Banyak perempuan muda yang ‘terpaksa’ menjadi seorang ibu karena hamil di luar nikah, masih dalam masa studi. Kemudian kata-katanya kepada ibu atau ayahnya (yang merasa marah dan malu) demikian, “saya udah bertobat, ma…saya gak akan ulangi lagi…” Maksudnya adalah, ia berjanji tidak akan melakukan hubungan seks lagi dengan pacarnya, karena ternyata betul bisa hamil. Tapi, apa yang kemudian dilakukan? Ia diantar sang mama, bertemu dengan sang pacar dan mama dari pacarnya, kemudian melakukan negosiasi.
Sepertinya hanya pengelaman sepele, “ah, cuma tersesat sebentar, lagian juga banyak orang.” Tapi bila Anda bertanya kepada anak-anak yang pernah tersesat, pengalaman tersesat ternyata menjadi pengalaman yang traumatis dalam diri anak. Rasa begitu jauh, rasa tidak aman, ketakutan, kesepian, rasa sendirian, rasa takut ditinggalkan.
Saya memahami perasaan Bapak dalam kisah zoom di atas, ketika ia berkata,”saya tersesat”. Ada rasa semakin jauh dengan orang yang dicintai, karena perselingkuhannya membuat Sang Istri menjadi begitu dingin. Ada rasa tidak aman, banyak ketakutan, kesepian, sendirian dalam penghakiman, dan takut Sang Istri meninggalkannya.
Tobat
Kapan terakhir Anda sungguh bertobat? Ketika seorang sahabat yang sudah bersih dari narkoba berkata, “tobat, gue, tobatttt…”. Apakah maksudnya? Apakah menyesal? Apa menyesal sekaligus rasa ‘kapok’ alias tidak bermaksud untuk mengulangi lagi? Ataukah menyesal, plus kapok, plus janji untuk berubah? Cukupkah untuk disebut pertobatan?
Belajar dari diri saya sendiri yang sudah banyak tersesat dalam hidup, dan dari beberapa sahabat yang juga mencari kelegaan, maka rumus pertobatan menjadi:
Tobat = Menyesal + Kapok + Janji Berubah + Berubah + Rela Menanggung Konsekuensi dari Kesalahan
Masih panjang rupanya perjalanan pertobatan, tidak berhenti sampai janji untuk berubah. Karena moment paling berat justru ketika BERUBAH dan RELA MENANGGUNG KONSEKUENSI KESALAHAN.
Banyak perempuan muda yang ‘terpaksa’ menjadi seorang ibu karena hamil di luar nikah, masih dalam masa studi. Kemudian kata-katanya kepada ibu atau ayahnya (yang merasa marah dan malu) demikian, “saya udah bertobat, ma…saya gak akan ulangi lagi…” Maksudnya adalah, ia berjanji tidak akan melakukan hubungan seks lagi dengan pacarnya, karena ternyata betul bisa hamil. Tapi, apa yang kemudian dilakukan? Ia diantar sang mama, bertemu dengan sang pacar dan mama dari pacarnya, kemudian melakukan negosiasi.
Negosiasi apa? Siapa yang akan mengantar ke
dokter untuk dikuret/ digugurkan dan siapa yang akan membiayainya biaya
dokternya. Kesepakatan dicapai oleh 2 ibu ‘gila’. Mamanya si anak perempuan
yang mencari dokter dan mengantar anaknya untuk menggugurkan kandungan. Mama si
anak laki-laki yang akan membiayai semuanya. Mengapa? Ya, ada rasa ‘bertanggung
jawab’ karena anaknya menghamili anak orang lain.
Pertanyaan saya adalah: DI MANA PERTOBATANNYA?
Pertobatan sejati adalah ketika berani menanggung konsekuensi dari kekeliruan
yang dibuat. “ya, tapi kan malu, bu…” Termasuk rasa MALU, itu harus
ditelan. Sebuah konsekuensi. Dikeluarkan dari sekolah? Terima juga resikonya.
Mengapa? Mengapa harus yang tidak bersalah yang dikorbankan. Karena si remaja
takut malu dan takut dikeluarkan dari sekolah, karena para ibu si anak remaja
juga takut malu dan takut masa depan anaknya suram, lalu kenapa yang menanggung
adalah bayi dalam kandungan?
Cerita Tentang Hukuman
Seorang perempuan muda yang gelisah datang kepada saya. Waktu itu sebelum ia menjawab lamaran dari kekasihnya untuk menikah. Ia bertanya, “Mbak Mona, menurut Mbak Mona, saya harus nggak menceritakan secara jujur kepada calon suami saya bahwa saya sudah tidak perawan lagi (dia pernah berhubungan seksual dengan pacar sebelumnya)?”. Saya bertanya kepadanya, “menurutmu sendiri bagaimana?”. “Saya nggak tau, saya pikir sih, kalau itu tidak ditanyakannya, saya tidak perlu mengatakannya. Toh saya tidak berbohong.
Cerita Tentang Hukuman
Seorang perempuan muda yang gelisah datang kepada saya. Waktu itu sebelum ia menjawab lamaran dari kekasihnya untuk menikah. Ia bertanya, “Mbak Mona, menurut Mbak Mona, saya harus nggak menceritakan secara jujur kepada calon suami saya bahwa saya sudah tidak perawan lagi (dia pernah berhubungan seksual dengan pacar sebelumnya)?”. Saya bertanya kepadanya, “menurutmu sendiri bagaimana?”. “Saya nggak tau, saya pikir sih, kalau itu tidak ditanyakannya, saya tidak perlu mengatakannya. Toh saya tidak berbohong.
Tapi kalau dia bertanya, baru saya katakan,
supaya saya tidak bohongi dia,” jawabnya dengan muka berharap. Saya berkata
kepadanya, “oh, gitu yaaa, hatimu sendiri enak nggak kalau misalnya sampai
menikah, dia nggak tanya, dan kamu juga tidak bilang?” Dia diam, lamaaaa,
lalu berkata, “tidak enak sih”. Perempuan yang hatinya baik, begitu
lembut dan peka. Saya katakan kepadanya, “Lakukan saja yang hatimu bilang. Kamu
tahu kok apa yang perlu dilakukan. Kamu memulai dengan jujur, semoga
perkawinanmu baik. Semoga bisa saling menerima apa adanya, bukan karena
kepura-puraan.” Dia pergi sambil sedih.
Tiga tahun kemudian, dalam salah satu pertemuan, ia berkata, “Mbak Mona… untung waktu itu (sebelum menikah) saya bilang kepada suami saya bahwa saya sudah tidak perawan lagi. Ia begitu kecewa, dan pulang di tengah hujan dari rumah saya. Ia tidak sms dan tidak menelepon saya selama 1 minggu, dan hidup saya seperti di neraka. Saya berkata pada diri saya, “bodoh banget sih saya ini, ngapain harus bilang, toh ia tidak tanya. Ngapain saya merusak hubungan yang selama ini berjalan begitu baik.”
Tiga tahun kemudian, dalam salah satu pertemuan, ia berkata, “Mbak Mona… untung waktu itu (sebelum menikah) saya bilang kepada suami saya bahwa saya sudah tidak perawan lagi. Ia begitu kecewa, dan pulang di tengah hujan dari rumah saya. Ia tidak sms dan tidak menelepon saya selama 1 minggu, dan hidup saya seperti di neraka. Saya berkata pada diri saya, “bodoh banget sih saya ini, ngapain harus bilang, toh ia tidak tanya. Ngapain saya merusak hubungan yang selama ini berjalan begitu baik.”
Saya sudah pasrah kalau ia mau membatalkan
rencana perkawinan kami. Tapi seminggu kemudian, dia menelepon saya minta
bertemu. Saya datang, Mbak, ke tempat kami sering berdoa bersama. Dia katakan,
dia sangat menghargai kejujuran saya. Tentu tidak mudah untuk jujur seperti
itu. Dia bertanya dengan siapa saya berhubungan seksual, saya ceritakan kepadanya.
Dia menangis, saya lebih lagi. Saya telah mengecewakannya. Dia berkata bahwa
dia mencintai saya, dia menerima saya. Kami berpelukan, dan saya menangis keras
sekali, Mbak. Saya amat sedih, karena telah membuatnya kecewa, tapi sekaligus
merasa lega, karena tidak ada lagi yang saya tutupi dari dia.” Demikian ceritanya kepada saya
sambil air matanya tergenang, saya juga ikutan menangis, karena merasa terharu
dengan kedewasaan pasangan muda ini.
Perempuan muda ini berani menanggung konsekuensi dari perbuatannya. Ia menyesal, mau berubah, dan berubah, ditambah membayar konsekuensinya. Ia menanggung hukumannya. Hasilnya? Sebuah kelegaan, sebuah pengampunan, sebuah penerimaan tanpa syarat.
Ditemukan Kembali
Anda yang pernah tersesat, tentu mengetahui betapa leganya saat Anda kemudian ditemukan kembali. Sepertinya kehidupan kembali berpihak kepada Anda dan rasa takut sirna. Kelegaan begitu besar yang dirasakan oleh pencipta lagu Amazing Grace, ketika mengungkapkan:
I once was lost, but now I’m found
Was blind but now I see..
Kelegaan yang sama yang (sepertinya) dirasakan oleh para budak belian (pada masa perbudakan) yang telah dibebaskan dan menjadi orang merdeka. Kelegaan yang dirasakan oleh Bapak di dalam cerita zoom ketika istrinya berkata, “aku memaafkanmu, aku mencintaimu, kita hadapi bersama”. Istrinya menepati kata-katanya. Ia membantu Sang Suami melewati masa yang begitu sulit. Menghadapi rasa malu, kehinaan, maupun cap dan ketidakpercayaan dari luar, bersama-sama.
Perempuan muda ini berani menanggung konsekuensi dari perbuatannya. Ia menyesal, mau berubah, dan berubah, ditambah membayar konsekuensinya. Ia menanggung hukumannya. Hasilnya? Sebuah kelegaan, sebuah pengampunan, sebuah penerimaan tanpa syarat.
Ditemukan Kembali
Anda yang pernah tersesat, tentu mengetahui betapa leganya saat Anda kemudian ditemukan kembali. Sepertinya kehidupan kembali berpihak kepada Anda dan rasa takut sirna. Kelegaan begitu besar yang dirasakan oleh pencipta lagu Amazing Grace, ketika mengungkapkan:
I once was lost, but now I’m found
Was blind but now I see..
Kelegaan yang sama yang (sepertinya) dirasakan oleh para budak belian (pada masa perbudakan) yang telah dibebaskan dan menjadi orang merdeka. Kelegaan yang dirasakan oleh Bapak di dalam cerita zoom ketika istrinya berkata, “aku memaafkanmu, aku mencintaimu, kita hadapi bersama”. Istrinya menepati kata-katanya. Ia membantu Sang Suami melewati masa yang begitu sulit. Menghadapi rasa malu, kehinaan, maupun cap dan ketidakpercayaan dari luar, bersama-sama.
Ketika tidak ada lagi orang yang memberikan
kepercayaan kepadanya, bahkan bisnis yang dijalankan selama puluhan tahun
sedang mengalami kehancuran di depan mata, Sang Istri telah menjadi sahabat dan
cahaya harapan bagi suaminya. Mereka menjadi semakin kuat, mereka menjadi lebih
saling mencintai, relasi mereka menjadi semakin harmonis. Itu karena
pertobatan, itu karena memaafkan dan dimaafkan.
Anda pernah merasa menyesal dan kemudian dimaafkan? Bagaimana rasanya? Dimaafkan, dibebaskan, dipercaya, dan relasi-relasi diperbaharui dan menjadi semakin kuat. Saya sangat mengagumi manusia, karena manusia memiliki daya sembuh yang luar biasa dengan memaafkan dan dimaafkan. Sebuah anugrah, sebentuk keajaiban pada masa yang begitu menyesakkan.
Selamat bertobat, selamat memaafkan!
Saat saya mau berubah menjadi lebih baik, saat saya bertobat, apa tantangan yang saya hadapi? Kalimat-kalimat seperti ini tentu menyakitkan hati:
Anda pernah merasa menyesal dan kemudian dimaafkan? Bagaimana rasanya? Dimaafkan, dibebaskan, dipercaya, dan relasi-relasi diperbaharui dan menjadi semakin kuat. Saya sangat mengagumi manusia, karena manusia memiliki daya sembuh yang luar biasa dengan memaafkan dan dimaafkan. Sebuah anugrah, sebentuk keajaiban pada masa yang begitu menyesakkan.
Selamat bertobat, selamat memaafkan!
Saat saya mau berubah menjadi lebih baik, saat saya bertobat, apa tantangan yang saya hadapi? Kalimat-kalimat seperti ini tentu menyakitkan hati:
- · “Ah, kalau sudah brengsek ya brengsek saja, gak usah pura-pura mau jadi orang baik.”
- · “Nggak bakalan bisa kamu jadi lebih baik, kamu dah parah banget.”
- · “Ah, palingan juga sehari dua hari, paling lama seminggu, abis itu, lu pasti balik kaya semula.”
- · “Tuh, kan, saya udah duga, kamu belum berubah, pasti kamu akan selingkuh kaya dulu.”
- · “Kenapa gak bales-bales bbmku? Mulai selingkuh lagi ya kaya dulu?”
- · “Jangan sok alim, lu, tampang lu gak pantes!”
- · “Gue dah terlanjur jijik ama elu. Gak ada harepan.”
Mari bertobat, mari memberikan kesempatan kepada orang lain, dan mari memaafkan!
Selamat mencintai dan selamat berkarya!
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Managing Director Ad Familia Indonesia
Web site : www.adfamilia-indonesia.com
Email : adfamilia.indonesia@gmail.com
Phone : 0817133238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar