Jumat, 22 Juni 2018

Cerita Moral : Dokter Gigi : KaMo Homeschooling Community : WA 0852 68506155



Dokter Gigi

“Diki, ayo sikat gigi!”
“Ntar, ayah. Lagi asyik nonton nih.”
Begitulah yang terjadi setiap kali ayah mengajak Diki menggosok gigi sebelum tidur. Beruntung hingga saat ini giginya tidak pernah bermasalah walaupun Diki suka sekali dengan yang makanan manis. Suatu pagi ketika  bangun tidur, Diki mengeluh, “ Yah, gigiku sakit!” Sambil meringis Diki mendatangi ayah yang sedang nonton TV. “Coba ayah lihat! Wah ternyata gigimu berlubang. Besar lagi! Ini harus segera ditambal, kalau tidak kamu akan terus sakit begini! Ya udah,  nanti sore setelah pulang kerja ayah antar kau ke dokter gigi. Oke??!”

Diki diam tidak mengiyakan. Dia ingat cerita Heru yang pernah ke dokter gigi dan ditambal. Heru bercerita sambil terkapok-kapok tidak mau pergi ke dokter gigi lagi. Heru cerita bahwa mulutnya harus disuntik, dibor, dan dari mulutnya mengeluarkan darah banyak sekali. Cerita Heru tiba-tiba menjadi nyata dan  mengerikan.
Diki pagi itu berangkat ke sekolah sambil menahan nyeri. Sesampainya di sekolah teman-teman menggoda Diki karena pipinya bengkak. “Sakit gigi ya, Dik? Waw, enak tenannn …,“ ejek Rindang. Diki diam saja sambil meringis menahan sakit. Sementara Heru yang pernah punya pengalaman buruk ke dokter gigi malah menambah berat rasa sakit. “ Dik, bukan nakut-nakutin sih, tetapi kalau urusan gigi nggak ada yang ngalahin sakitnya.”
Selama pelajaran Diki tidak bisa konsentrasi. Ia memikirkan apa yang terjadi nanti sore. Pikirannya melayang dan membuat alasan agar tidak pergi ke dokter gigi. “Diki! Kamu coba selesaikan soal nomor 3 di depan!” Pak Andi guru matematika yang galak sepertinya sengaja menyuruh karena melihat Diki yang nampak tidak bersemangat. Diki terkejut dan gelagapan tidak siap. Ia pun maju dengan ragu-ragu. Benar saja Diki tidak mampu mengerjakan soal tersebut. Spontan saja Pak Andi berteriak, “ Kok soal begitu saja tidak bisa! Kamu ngelamun yah!” Diki diam dan hampir menangis … Pak Andi akhirnya menyuruh Diki berdiri di depan kelas. Suasana pun menjadi tegang. Beruntung bel segera berbunyi, Diki segera duduk kembali di bangkunya.
Baru saja Diki melangkah, teriakan Pak Andi kembali terdengar, ”Siapa yang menyuruhmu duduk?” Diki segera kembali berdiri di pojok kelas dengan kepala tertunduk. Sekarang Diki tidak bisa menahan tangisnya. Perasaan malu bercampur sakit dan juga lelah jadi satu. “Kenapa kamu hari ini  melamun saja?” Sambil terisak Diki menjawab, “Saya sakit gigi,  Pak Guru.” Pak Andy menjawab: “Oh begitu, kalau begitu kamu segera saja minta izin pulang yah!” Diki mengangguk setuju. Sebenarnya dari tadi ia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Berusaha seperti tidak terjadi apa-apa tidak mungkin. Inilah kenapa sakit gigi sangat mengerikan.
“Diki, ayo berangkat ke dokter gigi!” teriak ayah. Tetapi tidak ada jawaban. Ternyata Diki sudah berada di kamar dan tidur. Ayah heran kok baru jam 6 sudah di kamar. Ayah segera menghampiri dan bertanya mengapa kok tidak bersiap. Sambil menangis Diki merangkul ayah,  “Aku takut ke dokter gigi, Ayah.” Diki menceritakan apa yang dialami Heru di klinik  gigi. Ayah menenangkan: “Betul memang sedikit menakutkan dan sakit, tapi tidak sepenuhnya persis seperti yang diceritakan Heru. Ayah menemanimu dan kamu akan baik-baik saja.” Ayah dengan tenang meyakinkan Diki.
Benar saja ketika sampai di klinik gigi ternyata dokternya ramah.  Banyak bertanya dan membuat Diki lupa dengan sakit giginya. Gigi Diki sudah dibersihkan, tapi belum boleh ditambal karena bengkak. Diki diminta minum obat dulu dan minggu depan baru kembali di tambal. Seminggu kemudian justru Diki yang mengajak ayah untuk ke dokter gigi. Ayah tersenyum heran, ”Udah berani? Yakin?” Diki mengangguk sambil berusaha memberanikan diri.
Setelah ke luar dari ruangan dokter, Ayah menatap dengan bangga, “Ayah senang kamu berani menghadapi ini dengan tenang. Kamu anak yang berani, Diki.”  Jawabnya:  “Terima kasih Ayah. Karena Ayah menemani  jadi Diki yakin semua akan baik-baik saja.”  Ayah kemudian menambahkan,  “Lain kali gosok giginya gimana?” semenjak kejadian itu Diki merawat giginya dengan baik. 

Cermin Kebijaksanaan
Sebelumnya Diki ragu dan takut untuk pergi ke dokter gigi. Hal ini karena bayang-bayang dan pikirannya sendiri ditambah dengan informasi yang diberikan Heru. Ketakutan adalah hal yang wajar apa lagi itu adalah hal baru yang kita hadapi. Tetapi ketakutan semakin menakutkan jika yang kita masukan dalam pikiran adalah informasi-informasi yang menakutkan lainnya. Ketika ketakutan datang menghinggap, kuatkan hati dan carilah informasi positif. Pikirkanlah apa yang terjadi jika berhasil mengatasi ketakutan itu sendiri.
Rindang dan Heru bukanlah contoh teman yang baik. Ia malah mengejek Diki yang tengah kesakitan. Sebaiknya kita meneguhkan dan memberi informasi yang yang positif. Misalnya, “Diki, semua orang pernah mengalami sakit gigi, tapi kebanyakan semua bisa melaluinya dengan baik-baik saja. Tidak usah kawatir!” Keberanian Diki tidak terjadi seketika. Dukungan ayah dan kesediaan ayah memberikan waktu meneguhkan hati Diki untuk berani melakukannya. Ayah Diki berperan  sangat baik, berperan sebagai sebagai pelindung sekaligus teman. Hal ini membuat Diki  merasa nyaman dan percaya diri.
Tantangan : Apa yang akan aku lakukan jika mengetahui teman saya ketakutan

 Cerita Moral : Dokter Gigi : KaMo Homeschooling Community : WA 0852 68506155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar