Dokter Gigi
“Ntar,
ayah. Lagi asyik nonton nih.”
Begitulah
yang terjadi setiap kali ayah mengajak Diki menggosok gigi sebelum tidur. Beruntung
hingga saat ini giginya tidak pernah bermasalah walaupun Diki suka sekali
dengan yang makanan manis. Suatu pagi ketika bangun tidur, Diki mengeluh, “ Yah, gigiku
sakit!” Sambil meringis Diki mendatangi ayah yang sedang nonton TV. “Coba ayah
lihat! Wah ternyata gigimu berlubang. Besar lagi! Ini harus segera ditambal,
kalau tidak kamu akan terus sakit begini! Ya udah, nanti sore setelah pulang kerja ayah antar kau
ke dokter gigi. Oke??!”
Diki
diam tidak mengiyakan. Dia ingat cerita Heru yang pernah ke dokter gigi dan
ditambal. Heru bercerita sambil terkapok-kapok tidak mau pergi ke dokter gigi
lagi. Heru cerita bahwa mulutnya harus disuntik, dibor, dan dari mulutnya
mengeluarkan darah banyak sekali. Cerita Heru tiba-tiba menjadi nyata dan mengerikan.
Diki
pagi itu berangkat ke sekolah sambil menahan nyeri. Sesampainya di sekolah
teman-teman menggoda Diki karena pipinya bengkak. “Sakit gigi ya, Dik? Waw,
enak tenannn …,“ ejek Rindang. Diki diam saja sambil meringis menahan sakit.
Sementara Heru yang pernah punya pengalaman buruk ke dokter gigi malah menambah
berat rasa sakit. “ Dik, bukan nakut-nakutin sih, tetapi kalau urusan gigi
nggak ada yang ngalahin sakitnya.”
Selama
pelajaran Diki tidak bisa konsentrasi. Ia memikirkan apa yang terjadi nanti
sore. Pikirannya melayang dan membuat alasan agar tidak pergi ke dokter gigi.
“Diki! Kamu coba selesaikan soal nomor 3 di depan!” Pak Andi guru matematika
yang galak sepertinya sengaja menyuruh karena melihat Diki yang nampak tidak
bersemangat. Diki terkejut dan gelagapan tidak siap. Ia pun maju dengan
ragu-ragu. Benar saja Diki tidak mampu mengerjakan soal tersebut. Spontan saja
Pak Andi berteriak, “ Kok soal begitu saja tidak bisa! Kamu ngelamun yah!” Diki
diam dan hampir menangis … Pak Andi akhirnya menyuruh Diki berdiri di depan
kelas. Suasana pun menjadi tegang. Beruntung bel segera berbunyi, Diki segera
duduk kembali di bangkunya.
Baru
saja Diki melangkah, teriakan Pak Andi kembali terdengar, ”Siapa yang menyuruhmu
duduk?” Diki segera kembali berdiri di pojok kelas dengan kepala tertunduk.
Sekarang Diki tidak bisa menahan tangisnya. Perasaan malu bercampur sakit dan
juga lelah jadi satu. “Kenapa kamu hari ini
melamun saja?” Sambil terisak Diki menjawab, “Saya sakit gigi, Pak Guru.” Pak Andy menjawab: “Oh begitu,
kalau begitu kamu segera saja minta izin pulang yah!” Diki mengangguk setuju.
Sebenarnya dari tadi ia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Berusaha
seperti tidak terjadi apa-apa tidak mungkin. Inilah kenapa sakit gigi sangat
mengerikan.
“Diki, ayo
berangkat ke dokter gigi!” teriak ayah. Tetapi tidak ada jawaban. Ternyata Diki
sudah berada di kamar dan tidur. Ayah heran kok baru jam 6 sudah di kamar. Ayah
segera menghampiri dan bertanya mengapa kok tidak bersiap. Sambil menangis Diki
merangkul ayah, “Aku takut ke dokter
gigi, Ayah.” Diki menceritakan apa yang dialami Heru di klinik gigi. Ayah menenangkan: “Betul memang sedikit
menakutkan dan sakit, tapi tidak sepenuhnya persis seperti yang diceritakan
Heru. Ayah menemanimu dan kamu akan baik-baik saja.” Ayah dengan tenang
meyakinkan Diki.
Benar saja ketika sampai
di klinik gigi ternyata dokternya ramah.
Banyak bertanya dan membuat Diki lupa dengan sakit giginya. Gigi Diki
sudah dibersihkan, tapi belum boleh ditambal karena bengkak. Diki diminta minum
obat dulu dan minggu depan baru kembali di tambal. Seminggu kemudian justru
Diki yang mengajak ayah untuk ke dokter gigi. Ayah tersenyum heran, ”Udah
berani? Yakin?” Diki mengangguk sambil berusaha memberanikan diri.
Setelah
ke luar dari ruangan dokter, Ayah menatap dengan bangga, “Ayah senang kamu
berani menghadapi ini dengan tenang. Kamu anak yang berani, Diki.” Jawabnya:
“Terima kasih Ayah. Karena Ayah menemani
jadi Diki yakin semua akan baik-baik saja.” Ayah kemudian menambahkan, “Lain kali gosok giginya gimana?” semenjak
kejadian itu Diki merawat giginya dengan baik.
Cermin Kebijaksanaan
Sebelumnya
Diki ragu dan takut untuk pergi ke dokter gigi. Hal ini karena bayang-bayang
dan pikirannya sendiri ditambah dengan informasi yang diberikan Heru. Ketakutan
adalah hal yang wajar apa lagi itu adalah hal baru yang kita hadapi. Tetapi
ketakutan semakin menakutkan jika yang kita masukan dalam pikiran adalah
informasi-informasi yang menakutkan lainnya. Ketika ketakutan datang
menghinggap, kuatkan hati dan carilah informasi positif. Pikirkanlah apa yang
terjadi jika berhasil mengatasi ketakutan itu sendiri.
Rindang
dan Heru bukanlah contoh teman yang baik. Ia malah mengejek Diki yang tengah
kesakitan. Sebaiknya kita meneguhkan dan memberi informasi yang yang positif.
Misalnya, “Diki, semua orang pernah mengalami sakit gigi, tapi kebanyakan semua
bisa melaluinya dengan baik-baik saja. Tidak usah kawatir!” Keberanian Diki
tidak terjadi seketika. Dukungan ayah dan kesediaan ayah memberikan waktu
meneguhkan hati Diki untuk berani melakukannya. Ayah Diki berperan sangat baik, berperan sebagai sebagai
pelindung sekaligus teman. Hal ini membuat Diki merasa nyaman dan percaya diri.
Tantangan : Apa yang akan aku lakukan jika
mengetahui teman saya ketakutan
Cerita Moral : Dokter Gigi : KaMo Homeschooling Community : WA 0852 68506155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar